Pemangkasan anggaran dalam Kapitalisme, benarkah untuk rakyat?
Oleh: Zuliyama, S. Pd.
Setelah Prabowo-Gibran dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober 2025 lalu, kini saatnya mereka merealisasikan apa yang telah dikoar-koarkan selama kampanye yaitu makan siang gratis atau nama barunya kini dikenal dengan makan bergizi gratis. Sayangnya, program tersebut butuh dana tambahan sebesar Rp 100 triliun untuk menjangkau 82,9 juta penerima hingga akhir 2025. Kini presiden pun mengeluarkan instruksi untuk menambah anggaran tambahan tersebut.
Pada tanggal 22 Januari 2025, presiden mengeluarkan inpres Nomor 1 tahun 2025, yang menginstruksikan untuk dilakukan revisi sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing, dalam rangka efisiensi atas anggaran belanja. Inpres ini nantinya akan menghemat anggaran sebesar Rp 306,69 triliun yang meliputi Rp 256,1 efisiensi anggaran belanja kementerian/lembaga dan sebesar Rp 59,9 triliun efisiensi anggaran transfer ke daerah.
Dilansir dari antaranews.com (28/01/2025), menindaklanjuti dari inpres ini, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengeluarkan surat bernomor S-37/MK.02/2025 yang memerintahkan kementrian/lembaga untuk melakukan efisiensi anggaran terhadap 16 pos belanja dengan presentasi mulai 10% hingga 90%.
Presiden menyampaikan bahwa pemangkasan anggaran dilakukan agar fokus anggaran semakin efisien. Penggunaan anggaran akan lebih ditujukan bagi langkah atau kegiatan yang manfaatnya bisa dirasakan secara langsung oleh masyarakat seperti makan bergizi gratis, juga beberapa langkah seperti swasembada pangan, energi, kemudian perbaikan sektor kesehatan serta langkah-langkah untuk meningkatkan kualitas dari masyarakat untuk menjadi sumber daya masyarakat yang makin unggul (Tempo.co, 6/2/2025).
Pemangkasan anggaran, benarkah untuk rakyat?
Jika kita melihat, memang pemangkasan anggaran bisa menyolusi anggaran yang defisit. Sayangnya tak dapat dipungkiri telah banyak kasus terjadi yang menggambarkan besarnya dampak pemangkasan anggaran ini. Sebut saja pada sektor pendidikan yang berisiko menghambat berbagai program seperti bantuan operasional sekolah, tunjangan guru, pelatihan pendidik, serta program beasiswa bagi siswa dari keluarga kurang mampu. Ditambah lagi, dana transfer ke daerah yang dipangkas juga menyasar belanja esensial, seperti urusan pangan serta pembangunan infrastruktur jalan dan irigasi. Tak lupa juga akan kasus yang sempat viral di media sosial, tentang si penyiar radio yang mempertanyakan kebijakan pemerintah memberikan makan siang gratis pada anak bangsa, namun saat pulang ke rumah, mereka tak mendapat makan malam dan pagi yang layak kareng orang tuanya telah kehilangan pekerjaan akibat pemangkasan anggaran. Penyiar tersebut memang akhirnya tak jadi dirumahkan, namun melihat fakta tersebut, tentunya itu hanyalah satu dari banyaknya persoalan yang muncul yang malah menyengsarakan rakyat.
Sementara itu, masih ada fakta bahwa rakyat dipaksa untuk membayar pajak sebagaimana sumber utama penghasilan negara yaitu sebesar 82% dari total anggaran negara. Bisa dibayangkan seberapa mengerikan para penguasa menjadikan rakyatnya bagai sapi perah yang tak diberi makanan. Di sisi lain, ada orang kaya yang merugikan rakyat ratusan triliun hanya diberi hukuman beberapa tahun penjara saja. Ini adalah rahasia umum, bahkan rakyat kebanyakan sudah tak heran dan terbiasa akan hal-hal semacam ini. Aturan yang memudahkan si kaya dan semakin melaratkan si miskin. Lantas mengapa terjadi demikian?
Tak heran sebenarnya jika hal ini terjadi dalam sistem sekarang, sistem kapitalisme-sekularisme. Bagaimana tidak, sistem ini menihilkan aturan agama dan membuat aturan sesuka hati mereka. Di tambah lagi, asas perbuatan yang dilandasi atas kemanfaatan membuat mereka lupa akan tanggung jawab mereka mengayomi rakyat. Mereka hanya memikirkan berapa banyak manfaat atau materi yang bisa mereka dapatkan walau dengan mengorbankan nasib rakyatnya. Maka sekali lagi tak heran jika solusi yang mereka berikan semisal pemangkasan anggaran, tak akan menjadi solusi solutif selagi negara masih berpegang pada sistem bobrok, kapitalisme.
Islam solusi tuntas permasalahan anggaran negara
Penguasa dalam Islam adalah pelayan atau ra’in. Ia bertanggung jawab atas keuangan negara hingga menciptakan kemakmuran rakyat. Ini berdasarkan sabda Rasulullah, “Imam (pemimpin) adalah raa’in (pelayan) dan dia bertanggung jawah atas rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam Islam, Khalifah bisa menyusun sendiri APBN Khilafah melalui hak tabanni. Pengelolaan ini kemudian dikelola oleh baitul maal yang mampu membuat perekonomian kuat dan stabil dikarenakan tiga alasan, yaitu:
Pertama, sumber baitul maal yang banyak dan tidak tergantung sama sekali pada pajak dan utang. Kedua, pengaturan alokasi pengeluaran yang sudah jelas. Setiap alokasi memiliki sumber pendanaannya. Ketiga, penyusunannya tidak dilakukan tahunan melainkan dilakukan sepanjang waktu sesuai alokasi yang diatur syariat.
Syaikh Taiyuddin an Nabhani dalam kitab Nidzamul iqtisadiy menjelaskan sistem keuangan negara Islam berbasis baitul maal. Baitul maal memiliki 3 pos pemasukan:
Pertama, pos kepemilikan negara bersumber dari harta fa’I dan kharaj yang meliputi ghanimah, anfal, fa’I khumus, kharaj, status tanah dan jizyah. Ini merupakan pemasukan tetap negara. adapun pemasukan tidak tetap negara dari pos kepemilikan negara berupa dharibah (pajak).
Kedua, pos kepemilikan umum yang bersumber dari harta pengelolaan sumber daya alam (SDA) seperti minyak, gas bumi, listrik, pertambangan, laut, suangai, perairan, mata air, hutan serta aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus. Bagian harta kepemilikan umum dibuat khusus agar tidak bercampur dengan harta lainnya. Pada pos kepemilikan umum, negara tidak boleh menyerahkan pengelolaannya pada swasta apalagi asing. Hanya negara yang berhak mengelolanya dan hasilnya diperuntukkan untuk kemaslahatan umat sepenuhnya, bisa dalam bentuk biaya kesehatan, biaya penddidikan, layanan transportasi dan lain-lain.
Ketiga, pos zakat yang bersumber dari zakat fitrah atau zakat maal kaum muslimin seperti zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat unta, sapi dan kambing. Selain itu, pos ini juga menampung harta sedekah, infaq, wakaf kaum muslimin. Untuk pos zakat juga dibuat khusus agar tida bercampur dengan pos lainnya.
Berbagai pos pemasukan baitul maal ini akan membuat negara kaya raya dan sanggup membiayai kebutuhan rakyat dan negara. adapun pajak (dharibah) dikatakan sebagai pemasukan tidak tetap negara. Pasalnya, pajak (dharibah) hanya dipungut dalam kondisi temporer ketika baitul maal sedang menipis atau kosong, sementara negara harus membiayai kebutuhan kaum muslim yang bersifat genting dan jika tidak dipenuhi akan menimbulkan dhharar (bahaya). Misalnya pembiayaan jihad, tejadi bencana alam, kebutuhan infrastruktur di daerah pelosok. Dharibah ini hanya akan dipungut pada warga negara Islam yang muslimin, sementara warga negara Islam yang kafir dzimmi tidak akan dipungut.
Dalam kitab Al-amwal fi Daulati al-Khilafah halaman 129, Syaikh Abdul Qadim Zallum mendefinisikan dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah Subhanahu wa ta’ala kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi tidak ada harta di baitul maal untuk membiayainya. Sekalipun dharibah dibebankan atas kaum muslim, namun tidak semua kaum muslim membayarnya. Dharibah hanya diambil dari kaum muslim yang memiliki kelebihan harta setelah mereka dan keluarga mereka terpenuhi kebutuhannya.
Selain itu para pengelola keuangan dalam khilafah baik pejabat maupun pegawai adalah orang-orang yang bertakwa, amanah dan takut menyentuh harta milik rakyat serta profesional. Ini merupaan buah dari sistem pendidikan Islam yang berbasis aqidah Islam. Ditambah lagi, adanya sistem sanksi yang tegas juga menjadi pencegah pelanggaran atas harta negara. Islam sudah menetapkan fungsi pengawasan melekat pada diri Khalifah sejak baiat dilaksanakan dan menetapkan Khalifat sebagai pihak pemutus kebijakan dengan berpegang pada syariat Allah. Dari sini dapat kita lihat bahwa pemangkasan anggaran tidak akan bisa menyejahterakan rayat dan hanya bisa tersolusikan dengan Islam. Wallahua’lam bishshawab.