OLIGARKI DIBALIK PAGAR LAUT TANGERANG
(Pengamat Kebijakan Publik)
Pemagaran laut di Tangerang menjadi polemik yang mengundang perhatian masyarakat. Pagar laut sepanjang 30,16 km muncul di wilayah perairan Kabupaten Tangerang, Banten. Laporan nelayan tentang pagar bambu di perairan Tangerang sudah masuk ke Dinas Kelautan dan Perikanan Banten sejak Mei 2023 lalu, saat panjang pagar masih 400 meter. Namun, tanpa ada tindakan tegas dari pihak yang berwenang, pagar tersebut terus bertambah hingga mencapai 7 km pada Agustus tahun 2024. Lebih ironis lagi, pada September 2023, aparat dari Dinas Kelautan Banten, TNI AL, dan kepolisian perairan menemukan panjang pagar sudah 13,12 km. Meski demikian, tak ada langkah konkret untuk menghentikannya. Baru setelah keberadaan pagar ini viral di media sosial dan panjangnya lebih dari 30 km, para pejabat mendadak “bego” seolah tidak tahu asal-usul patok-patok bambu tersebut.
Ketidakseriusan negara dalam mengurusi dan menuntaskan dengan segera kasus pagar laut ini memunculkan dugaan bahwa negara sengaja membiarkan praktik kejahatan tersebut berlangsung. Dengan perangkat organisasi yang lengkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan seharusnya bisa mendeteksi dan bertindak cepat. Namun, lambannya respons dan sikap pura-pura tidak tahu justru menimbulkan kecurigaan akan adanya keterlibatan oknum dalam institusi negara.
Anehnya, ketika akhirnya Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Sakti Trenggono mengakui bahwa pagar laut sepanjang 30,16 km itu tak berizin, langkah yang diambil hanya sebatas penyegelan. Padahal, jauh sebelum itu, Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang telah menerbitkan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) seluas 300 hektar di atas laut. Ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana bisa tanah yang dulunya laut tiba-tiba memiliki sertifikat?
Fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa pengurusan HGB dan SHM tersebut sudah mengikuti alur pengurusan administrasi yang sesuai dengan aturan yang ada. Jika pengurusan berkasnya bisa lolos secara administratif, padahal keberadaannya melanggar Undang-Undang yang berlaku, maka wajar saja jika publik ramai mempertanyakan kredibilitas dari pihak-pihak pemberi izin.
Kasus ini menggambarkan bagaimana korporatokrasi —sebuah istilah yang merujuk pada upaya korporasi untuk mempengaruhi kebijakan dan regulasi demi kepentingan mereka—berlangsung di depan mata. Keberadaan pagar laut ini beririsan dengan pengembangan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 yang dikelola oleh Agung Sedayu Group, perusahaan milik taipan Sugianto Kusuma alias Aguan. Didalam proyek tersebut ada Tropical Coastland yang masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) yang ditetapkan oleh pemerintahan Joko Widodo pada Maret 2024.
Negara Dalam Cengkraman Oligarki
Keberadaan pagar laut di pesisir utara Tangerang menjadi gambaran nyata bagaimana negara ini kalah di hadapan kepentingan pengusaha dalam mengelola common property. Negara yang seharusnya menjadi pelindung rakyat justru tunduk pada kepentingan korporasi besar. Penetapan status PSN tanpa kriteria yang jelas juga semakin memperkuat dugaan bahwa proyek ini hanyalah bagian dari praktik “balas budi” oleh penguasa kepada segelintir elite super kaya, yakni para oligarki. Dengan status PSN, pemilik proyek seolah mendapat kebebasan untuk melanggar aturan, bahkan jika itu berarti merampas ruang hidup nelayan dan Masyarakat di sekitarnya. Padahal, Proyek Strategis Nasional seharusnya bertujuan untuk kepentingan publik, bukan untuk memperkaya segelintir pengusaha dengan cara mengorbankan masyarakat kecil. Kuasa oligarki ini sangat membahayakan negeri. Bila terus dibiarkan, negeri ini akan makin terpuruk ke jurang korporatokrasi. Dalam korporatokrasi, bukan rakyat yang berkuasa, tetapi pemilik modallah yang berkuasa sekaligus berdaulat. Negara boleh masih tetap punya presiden, menteri, gubernur dan pejabat-pejabat lain. DanKhilafah Melindungi Kedaulatan Negaram dan aparat keamanan. Namun sejatinya bukan para pejabat itu yang mengatur negara ini, melainkan para oligarki itulah yang mengendalikan negara sesuai dengan kepentingannya.
Khilafah Melindungi Kedaulatan Negara
Negara Islam (Khilafah) merupakan negara yang memiliki kedaulatan penuh untuk mengurus urusan negara dan menyejahterakan rakyatnya. Kedaulatan dalam pandangan Islam itu di tangan syariat, bukan di tangan manusia. Syariatlah yang seharusnya memimpin, bukan (hawa nafsu) manusia. Semua perilaku, ucapan, dan kebijakan penguasa wajib tunduk pada syariat Islam (Al-Waie, 24-6-2020). Kedaulatan penuh ini membuat Khilafah tidak akan tunduk pada korporasi. Khilafah hanya tunduk pada ketentuan syariat Islam.
Penguasa di dalam Islam dilarang menyentuh/mengambil harta milik umum dengan alasan apa pun (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah Jilid II hlm. 163). Islam mengakui adanya harta milik umum. Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah dalam buku Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah (Sistem Keuangan Negara Khilafah) hlm. 87 menjelaskan bahwa harta yang keadaan asalnya terlarang bagi individu tertentu untuk memilikinya, terkategori milik umum.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan Imam Abu Daud dan Ahmad, “Mina adalah milik orang-orang yang lebih dahulu sampai.” Makna hadis ini, bahwa Mina adalah milik bersama di antara kaum muslim dan bukan milik perseorangan sehingga orang lain dilarang memilikinya atau menempatinya.
Berdasarkan hal ini, laut terkategori milik umum bagi seluruh rakyat. Tidak boleh ada individu (perorangan maupun korporasi) yang memiliki laut. Demikian pula, tidak boleh ada individu yang menguasai/memagari laut. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.” (HR Bukhari). Artinya, tidak ada penguasaan/pemagaran atas harta milik umum, kecuali oleh negara. Pelanggaran terhadap hukum tersebut adalah kemaksiatan dan negara akan memberi sanksi tegas bagi pelakunya.
Wallahualam bissawab.