KORUPSI MAKIN MENGGURITA BUAH SISTEM DEMOKRASIKAPITALISME

 


Oleh: Nur Fazilah, S.Si

Mohammad Riza Chalid terseret kasus korupsi tata kelola minyak mentah serta produk kilang Pertamina dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) 2018-2023 yang merugikan negara Rp 193,7 triliun. 

Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah menggeledah rumah Riza Chalid dan akan mendalami dugaan keterlibatannya dalam kasus minyak impor mentah tersebut.

Riza Chalid pernah terserat kasus impor minyak mentah Zatapi pada 2008. Tetapi, Bareskrim Polri  menutup pengusutan kasus tersebut dan Riza tak tersentuh hukum.

Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar dalam keterangan persnya pada Senin (24/2/2025) malam menyebutkan, telah menetapkan tujuh tersangka. Mereka yaitu, yakni berinisial RS selaku direktur utama PT Pertamina Patra Niaga, SDS selaku direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, dan YF dari PT Pertamina International Shipping.


Demokrasi Biang Keroknya

Kasus korupsi dalam demokrasi tak pernah berhenti. Alih-alih menurun yang terjadi kasus korupsi semakin merajalela. Pelaku tak pandang kondisi rakyat yang semakin hari semakin tercekik. Korupsi selalu dilakukan demi kepuasan nafsu pribadi.

 Demokrasi-Kapitalis terbukti sangat ramah dengan para koruptor. Sehingga jelas bagaimanapun orang yang ditunjuk untuk mendapatkan jabatan tidak lagi dilihat kapablitias dan keloyalannya kepada rakyat, sehingga mantan koruptor pun tetap mempunyai peluang menerima jabatan demi memndapatkan keuntungan materi. Pandangan demokrasi bukan bersandar pada halal dan haram, melainkan hanya kepada keuntungan semata. Inilah yang menjadi demokrasi semakin berhasilkan menumbuh suburkan para koruptor di Negara. 


Kembalilah Pada Islam

Sungguh tak cukup bagi rakyat hanya menelan kekecewaan, akan tetapi harus sadar betul bahwa semua ini akan terselesaikan dengan kembalinya kita berhukum dengan Islam secara keseluruhan.

Risywah (suap) ialah memberikan harta kepada seorang pejabat untuk menguasai hak dengan cara batil, atau membatalkan hak orang lain atau agar haknya didahulukan dari orang lain. Nabi Saw telah melaknat para pelakunya, baik yang menerima maupun yang memberi suap,

 “Rasulullah saw. telah melaknat penyuap dan penerima suap.” (HR at-Tirmidzi dan Abu Dawud)

Jika seorang pejabat menggunakan kedudukannya untuk memuluskan suatu transaksi bisnis, atau ia mendapatkan fee (komisi) dari suatu proyek, maka itu adalah cara kepemilikan harta yang haram. Pelakunya berhak diganjar dengan sanksi tegas Khalifah.

Sistem demokrasi dan Islam bagaikan minyak dan air yang tidak bisa dipersatukan. Keduanya lahir dari asas yang saling bertentangan. Yang satu kebenaran, yang lain kekufuran. Ia meyakinkan, selama demokrasi dikukuhi, kasus korupsi dan penyimpangan lain tidak mungkin bisa dieliminasi apalagi dihapuskan.

Maka dalam Islam, pelaku suap, korupsi atau penerima gratisfikasi diberi sanksi penjara hingga hukuman mati sesuai keputusan qadhi sebagai ta’zir dalam sistem pidana Islam. Hal ini berbeda sekali dengan hukuman yang diberikan oleh Demokrasi kepada para koruptor. Para koruptor mendapatkan fasilitas tempat yang mewah sehingga wajar tidak memberikan efek jera kepada para pelakunya. Jelas sistem islam lah yang mampu untuk melahirkan para pemimpin yang amanah. Prestasi seperti ini belum pernah bisa diraih peradaban mana pun dalam sejarah, kecuali Islam dalam bingkai Khilafah. Karena itu, sudah saatnya umat kembali pada syariat Islam yang datang dari Allah Maha Sempurna. Masihkah meragukan keberhasilan Khilafah memimpin dunia?


Wallahu a’lam bi ash-shawab

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel