Miras Kian Merajalela, Kok Bisa?

 


Oleh: Pipik Wulandari

(Aktivis Muslimah, Sleman, DIY)

Persoalan miras makin hari, makin tak terkendali. Sebenarnya apa yang menyebabkan peredaran miras kian merajalela di berbagai wilayah. Seperti yang kita ketahui bahwa minuman keras (miras), baik legal maupun ilegal, tidak memberikan dampak positif dari segi manapun. Dari sisi kesehatan misalnya, sudah pasti berdampak buruk bagi pengonsumsinya. Menurut berbagai penelitian, minuman beralkohol atau miras dapat menyebabkan kerusakan organ vital, gangguan fungsi tubuh, merusak sel otak, pencernaan, sistem saraf, meningkatkan risiko kanker, penurunan imun tubuh, perubahan perilaku, hingga kematian. Dikutip dari inews.id, laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dirilis pada Selasa (25/6/2024) menunjukkan terdapat 2,6 juta orang yang meninggal akibat minuman keras setiap tahunnya.

Tentu saja, hal ini membuktikan efek buruk yang ditimbulkan dari miras sangat berbahaya. Lantas, apa yang menyebabkan miras masih sangat digandrungi berbagai kalangan masyarakat? Dari generasi remaja misalnya, sekarang ini banyak remaja yang mengatakan bahwa dengan meminum miras kepercayaan diri mereka bertambah. Tak hanya itu, miras juga dijadikan sebagian orang sebagai pelarian untuk menyelesaikan masalah. Bahkan miras menjadi lifestyle, bisa karena faktor lingkungan, teman, atau kebiasaan masyarakat.

Lebih dari itu, ini bukan sekadar kegagalan pada skala individu yang tidak mampu mengatasi permasalahan kehidupan mereka saja. Diakui atau tidak, kondisi ini seakan didukung oleh pejabat masyarakat yang tidak peduli dengan problematik sekitar, imbas dari miras. Parahnya lagi, peran negara yang abai terhadap persoalan miras. Negara justru membuat aturan terkait peredaran miras di negeri diantaranya, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol, juga Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol 

Adapun beberapa ketentuan terkait peredaran miras diantaranya minuman beralkohol golongan A dapat dijual di toko pengecer seperti minimarket, supermarket, dan hypermarket. Penjualan miras hanya boleh diberikan kepada konsumen yang telah berusia 21 tahun atau lebih. Konsumen harus menunjukkan kartu identitas kepada petugas atau pramuniaga untuk membeli miras. Setiap orang dilarang mengonsumsi miras di tempat umum. Pelanggaran mengonsumsi miras di tempat umum dikenakan kurungan badan paling lama 6 bulan dan denda paling besar Rp 50 juta. 

Dalam hal ini, pemerintah hanya sebatas mengawasi, mengatur, dan membatasi peredaran miras, juga membuat aturan batas usia bagi pengonsumsi miras saja. Meskipun, faktanya banyak anak-anak remaja di bawah 21 tahun pun menjadi konsumen miras. Artinya, pemerintah tidak melarang peredaran miras atau mengharamkan untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Padahal, bahaya miras sudah sangat jelas. Bukti miras sebagai induk kejahatan pun tidak diragukan lagi. Untuk itu, negara seyogyanya menjadi pemutus mata rantai kemaksiatan apalagi ketika sesuatu hal tersebut sudah melanggar hukum syariat atau aturan Allah Swt.. Tidak perlu mempertimbangkan manfaat atau keuntungan yang didapat pelaku usaha miras bahkan bagi negara sekalipun. Sesungguhnya negara lah yang wewenang untuk membuat aturan guna keberlangsungan kehidupan.

Sejatinya apa-apa yang sudah ditetapkan Allah sebagai keharaman, maka manusia wajib meninggalkannya. Inilah yang membuktikan bahwa negara saat ini menerapkan sistem sekularisme yang menjauhkan aturan Allah Swt. dari kehidupan. Dan, selama hukum-hukum Allah Swt. tak dijadikan pedoman, maka kasus seperti miras dan kemaksiatan lainnya sudah pasti tidak akan pernah serius untuk diselesaikan.


 Wallahu A'lam bish shawab.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel