Kejahatan Anak, Potret Buram Generasi
Penulis: Ika Kusuma
Empat remaja di bawah umur di Sukarami, Palembang, Sumatera Selatan, memperkosa dan membunuh seorang siswi SMP berinisial AA (13). Kapolrestabes Palembang Kombes Haryo Sugihhartono menyebut jasad korban ditinggalkan keempat pelaku di sebuah kuburan Cina, pada Minggu (1/9) sekitar pukul 13.00 WIB. Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sumatera Selatan Kombes Anwar Reksowidjojo menyebut keempat tersangka terbukti merencanakan pemerkosaan hingga menyebabkan korban meninggal dunia. Keempat tersangka juga mengaku melakukan tindakan tak bermoral tersebut usai menonton video porno di ponsel mereka. (CNN.Indonesia.com, 6/9/2024).
Dari keempat pelaku, hanya Is (17) tahun yang telah ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka utama. Hasil penyelidikan diduga Is mempunyai pola pikir berbeda sehingga dia cenderung bergaul dengan anak yang lebih muda agar bisa mengendalikan mereka. (www.TVOnenews.com, 8/9/2024).
Sedangkan ketiga pelaku lainya yakni Aa (13), Mz (13), dan Ms (12) dibina di panti rehabilitasi yang terletak di kawasan Indralaya, Okan Ilir. Ini sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak pasal 32 dengan status Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). (Kumparan.com, 6/9/2024).
Kasus tersebut menjadi potret nyata kerusakan generasi akibat pornografi sekaligus bukti nyata sistem sekuler telah mencetak generasi liberal yang menganut kebebasan kebablasan hingga bangga dengan kejahatannya sebagai bentuk eksistensi. Mirisnya, meski tindak kriminalitas oleh anak semakin marak terjadi, sanksi yang diberikan kepada pelaku di bawah umur masih jauh dari kata menjerakan karena salahnya definisi anak dalam hukum sekularisme. Hal ini menimbulkan persepsi seakan kejahatan jika pelakunya masih di bawah umur masih bisa ditoleransi. Akibatnya, kejahatan terus berulang karena sanksi ringan dan tidak adanya efek jera bagi para pelaku.
Lalu apa saja penyebab anak anak-anak yang seharusnya masih asik dengan dunia polos, penuh keceriaan khas anak anak-anak justru menjelma bak monster yang mengerikan, bahkan mampu bertindak keji hingga menghilangkan nyawa manusia?
Kita tahu anak anak ibarat kertas putih yang siap mengabadikan setiap goresan tinta sang penulis. Mereka akan tumbuh sesuai apa yang terbiasa mereka lihat dan dengar. Jika setiap hari yang mereka lihat adalah tontonan yang merusak, maka jelas kerusakan generasi yang kita dapati. Terlebih di zaman digitalisasi saat ini, semua tontonan dan informasi bisa dengan mudah diakses oleh siapa pun, termasuk oleh anak-anak. Sayangnya, tidak semua yang tersaji di sosmed adalah hal yang layak atau pantas untuk ditonton oleh mereka.
Di sisi lain, negara seolah masih abai atau terkesan setengah-setengah dalam mengontrol sosial media. Ini terbukti dengan masih banyaknya tontonan maupun konten yang merusak, berbau kekerasan, ataupun pornografi yang bebas beredar di sosial media. Padahal bahaya pornografi bukanlah hal yang bisa disepelekan. Bahkan pornografi mengakibatkan kerusakan otak yang lebih parah dari pada narkoba. Prefrontal cortex bagian otak yang rusak ketika terpapar pornografi adalah pusat pemikiran, perencanaan, pengambilan keputusan, pengontrol emosional, dan tanggung jawab. Bayangkan jika bagian ini telah rusak sejak usia dini, mereka akan tumbuh dengan kecacatan emosional. Mereka akan sulit membedakan mana yang benar atau salah.
Sistem pendidikan sekularisme juga turut andil dalam pembentukan generasi liberal saat ini. Anak-anak kita semakin dijauhkan dari nilai agama. Sebaliknya, nilai liberalisme kapitalisme dipupuk sejak dini melalui sistem pendidikan, salah satunya dengan moderasi beragama yang gencar menyerukan pemikiran liberal seperti HAM, plurarisme, kesetaraan gender, dan lain-lain. Akibatnya, individu yang terbentuk dalam sistem ini tak lagi berpedoman pada nilai agama dalam berpikir maupun bersikap. Mereka menjujung tinggi kebebasan dan menganggap agama sebagai aturan yang mengekang dan bertentangan dengan nilai kebebasan.
Sistem sekularisme juga membentuk masyarakat menjadi masyarakat individualis yang menyebabkan hilangnya kontrol masyarakat. Tak ada lagi kesadaran untuk beramar makruf nahi mungkar. Kemaksiatan dan kriminalitas tumbuh subur karena sikap tak saling peduli dalam masyarakat.
Sayangnya, tidak semua masyarakat sadar jika problematika kehidupan yang rumit ini adalah buah dari penerapan sistem sekularisme dan kapitalisme. Umat disibukkan dengan masalah dunia dan semakin dijauhkan dari nilai agama. Mereka hidup di dunia dengan aturan yang mereka buat sendiri, yang tak konsisten dan cenderung menguntungkan bagi sebagian golongan saja, yakni pihak yang membuat aturan.
Sedangkan Islam jelas hanya menerapkan hukum Allah sebagai aturan hidup di dunia. Hukum yang jelas mengatur manusia dengan sempurna karena Allah sebagai pencipta jelas lebih memahami karakteristik ciptaan- Nya.
Dengan penerapan hukum Islam secara kaffah, generasi kita tak kan terancam keberadaannya. Islam mempunyai sistem yang mampu melindungi serta menjaga generasi untuk tumbuh menjadi generasi yang cemerlang. Islam memiliki sistem pendidikan yang fokus mencetak individu yang berkepribadian Islam, di mana cara pikir dan tingkah laku mereka sesuai dengan syariat Islam. Mereka terbiasa dididik untuk taat pada aturan Allah sehingga terbentuk kesadaran untuk menghindari semua perbuatan yang dilarang oleh syariat, termasuk zina maupun maksiat.
Masyarakat yang terbentuk pun akan menjadi support system bagi perkembangan generasi yang sehat fisik maupun mental karena mereka menerapkan aturan Allah dalam bermasyarakat. Kontrol masyarakat juga terjaga karena setiap individu sadar akan kewajiban beramar makruf nahi mungkar.
Yang tak kalah penting adalah peran besar negara. Islam memastikan negara menjalankan perannya dengan optimal. Kepala negara atau khalifah memahami bahwa kedudukan mereka sebagai penguasa adalah untuk melindungi dan memelihara umat. Negara bertanggung jawab menjaga dan melindungi generasi. Maka negara dengan wewenangnya akan memastikan setiap kebutuhan dan hak mereka terpenuhi. Negara menjamin pendidikan dan kesehatan dengan kualitas terbaik mudah diakses, bahkan gratis untuk semua masyarakat tanpa terkecuali. Khalifah juga akan mengontrol media sosial dari bahaya konten yang berpotensi merusak generasi seperti pornografi dan sejenisnya.
Islam juga menjamin penerapan hukum syariat yang tegas dalam semua aspek tanpa pandang bulu. Penerapan sanksi mampu menghadirkan efek jera bagi para pelaku sehingga mampu mencegah kejahatan serupa terulang.
Permasalahan generasi yang terjadi dalam sistem saat ini jelas membuktikan kerusakan sistem yang ada. Kita tidak bisa lagi berharap pada sistem yang salah untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Umat harus sadar jika aturan yang terbaik untuk umat manusia di seluruh bumi ini hanyalah aturan Allah SWT semata. Hanya dengan penerapan sistem Islam secara paripurna, generasi ini akan terselamatkan dari tindak kejahatan anak dan mengembalikan mereka sebagai pemimpin peradaban mulia. Wallahu 'alam.