Guru Mencetak Generasi Pembangun Peradaban


Oleh: Ika Kusuma 

Valuing Teachers Voices: Towards a New Social Contract for Education (menghargai suara guru: menuju kontak sosial baru untuk pendirian)  menjadi tema peringatan Hari Guru Sedunia tahun ini. Tema kali ini menyoroti tentang pentingnya suara guru dalam melakukan pembinaan dan memanfaatkan potensi terbaik dari setiap anak didiknya. (www.detik.com). 

Ditetapkannya 5 Oktober sebagai Hari Guru Sedunia berawal dari konferensi UNESCO di Paris pada tahun 1994 yang diikuti oleh 73 perwakilan negara dan 35 organisasi dunia. Peringatan hari guru sebagai bentuk pemahaman, apresiasi dan kepedulian terhadap para guru. (kompas.com, 5 Oktober 2024). 

Sudah seharusnya peringatan hari guru  tak hanya sekadar seremonial belaka mengingat peran guru sangatlah penting dan mulia. Khususnya  negeri ini sangatlah perlu merefleksikan kembali peran dan kondisi guru saat ini. Guru harusnya menjadi sentral moral dan etika bagi siswanya. Namun sayangnya, citra guru banyak tercoreng saat ini. Kasus kekerasan oleh guru makin sering terdengar, baik kekerasan secara fisik, verbal maupun seksual. 

Seperti kasus siswa berinisial RSS STM Hilir  yang dikabarkan meninggal dunia usai mendapat hukuman dari oknum guru dengan melakukan squad jump sebanyak 100 kali akibat tidak bisa menghapal ayat Al-Qur'an. Kasus serupa juga dialami oleh seorang santri di sebuah ponpes di Ponggok Blitar yang harus meregang nyawa usai dilempar balok kayu oleh ustaznya. (tirto.id, 26/7/2024). 

Bagaimana seorang guru yang harusnya menjadi panutan dan sumber ilmu bagi muridnya justru menjadi contoh buruk ? Tak cukup hanya sekadar mengahakimi karena ada fakta yang perlu dicermati lebih mendalam  dari menurunnya kualitas pendidik saat ini. 

Fakta hari ini, guru hidup di bawah banyak tekanan dan tuntutan. Diketahui beban guru saat ini sangat tinggi, rata-rata guru harus mengajar 24 jam pelajaran/minggu namun mereka masih harus mengurus tugas administrasi dan juga mengisi jam ekstrakurikuler. 

Mereka dituntut untuk multitasking namun di sisi lain akses terhadap pelatihan  dan pengembangan profesional masih sangat terbatas. Berdasarkan data Word Bank (2021)  hanya 30% guru yang mengikuti pelatihan. Hal ini tentu berdampak pada kualitas pengajaran yang menurun. 

Sayangnya, tingginya tututan terhadap kinerja mereka berbanding terbalik dengan kesejahteraan yang mereka terima. Ditambah pula dengan adanya perbedaan penghasilan antara guru PNS dan honorer. Hasil survei lembaga riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS)  dan Great Edunesia Dompet Dhuafa  pada Mei 2024 menyebut 74% guru honorer atau kontrak berpenghasilan di bawah 2 juta rupiah/bulan, bahkan 20,5% dari mereka masih berpenghasilan di bawah 500rb rupiah/bulan. 

Belum lagi banyak dari mereka yang harus bekerja di lingkungan yang kurang kondusif. Di daerah terpencil, banyak sekolah yang sarana dan prasarana masih kurang memadai, mulai dari gedung sekolah yang rusak ataupun buruknya akses internet. Hal ini tentu menghambat kinerja para guru. Dan kebanyakan mereka yang bertugas di daerah terpencil adalah tenaga honorer. 

Ini menjadi bukti kurangnya perhatian negara terhadap dunia pendidikan dan kesejahteraan guru. Sistem sekularisme yang dianut negeri ini terbukti abai terhadap nasib guru dan generasi. Guru dibiarkan berada dalam tekanan hidup tinggi namum minim penghargaan, bahkan diabaikan kesejahteraannya. Carut marut sistem pendidikan sekuler inilah yang menjadikan guru lupa pada peran utamanya sebagai seorang pendidik. 

Pada dasarnya negara dengan sistem kepemimpinan sekuler seperti saat ini tak kan pernah peduli pada kesejahteraan guru, apalagi mengembalikan peran guru sebagai pendidik generasi pembangunan peradapan. 

Karena asas kapitalisme yang dianut negeri ini hanya memposisikan guru sebagai objek produksi  yang akan mencetak peserta didiknya  agar siap terjun ke dunia kerja. Seolah-olah hanya menjadikan sekolah sebagai jembatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. 

Kebijakan pemerintah dalam sistem kapitalisme hanya berpihak pada kepentingan pemilik modal dan elit oligarki. Inilah mengapa kurikulum pendidikan pun disusun untuk mendukung berjalannya bisnis korporat. Pendidikan semata hanya untuk mempersiapkan  SDM yang bermental pekerja bukan ahli. 

Harusnya kita sadar problematika guru yang sangat kompleks hari ini adalah buah dari penerapan sistem  sekularisme kapitalisme. 

Tentu sangat berbeda ketika Islam kaffah ditegakkan. Islam  mempunyai sistem pendidikan yang mampu mencetak generasi cemerlang, dengan menghadirkan guru yang berkualiatas dan bersyakhsiyah Islamiyah. Sistem pendidikan ini akan menciptakan individu yang berkepribadian Islam, yang cara pikir dan prilaku mereka berdasarkan pada syariat Islam. 

Guru adalah profesi yang mulia dalam Islam maka guru berhak mendapatkan apresiasi tinggi atas pengabdiannya. Salah satunya dengan gaji yang tinggi. Tercatat dalam sejarah pada masa khilafah Umar Bin Khattab upah guru mencapai 15 Dinar (1 dinar = 4,2 gram emas)/bulan. Gaji tersebut diberikan kepada semua guru tanpa memandang status pegawai negeri atau bukan, tak ada perbedaan di kota maupun di desa karena guru mempunyai hak dan tugas yang sama yakni mendidik generasi. 

Selain itu, negara menghitung dengan cermat kebutuhan guru dan sekolah, hingga terjamin terpenuhi sesuai kebutuhan bukan sesuai anggaran seperti saat ini. 

Kemampuan guru juga akan terus di upgrade sesuai dengan kemajuan ilmu terbaru melalui  pelatihan  yang diadakan secara merata. Selain itu sistem ekonomi Islam telah terbukti kuat dan unggul hingga sangat memungkinkan bagi negara untuk menyediakan fasilitas pendidikan yang terbaik. Jika kurikulum dan sistem pendidikan terbaik, serta fasilitas terpenuhi dengan baik, apalagi kesejahteraan guru terjamin, hal ini tentu akan berdampak pada kinerja para guru. Peran utama guru sebagai pendidik generasi  akan maksimal sehingga mampu mencetak generasi pembangun peradaban yang bersyakhsiyah Islam. Wallahualam.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel