Sistem Ekonomi Kapitalis Menggerus Fitrah Ibu

 



Penulis: Pipik Wulandari

(Aktivis Muslimah, Ngaglik, Sleman, DIY).

Baru-baru ini, Satreskrim Polrestabes Medan meringkus empat perempuan yang terlibat jual-beli bayi di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Wakil Kepala Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Medan, Ajun Komisaris Madya Yustadi mengatakan, kasus tersebut terungkap dari informasi masyarakat bahwa ada rencana transaksi jual-beli bayi yang baru dilahirkan di sebuah rumah sakit di Kecamatan Percutseituan. Berdasarkan informasi tersebut, petugas melakukan penyelidikan dan mendapati MT(55), warga Medanperjuangan sedang menggendong bayi menumpangi becak bermotor menuju Jalan Kuningan, Kecamatan Medanarea, Kota Medan. MT akan menemui Yu(56) dan NJ(40), untuk menyerahkan bayi yang didapat dari SS(27), ibu kandung bayi tersebut. Rencananya bayi tersebut akan dijual dengan harga 20juta (metro.tempo.com, 16/08/2024).


Sungguh miris, himpitan ekonomi telah menggerus naluri seorang ibu. Ia rela menjual bayinya demi meraup uang untuk mencukupi kebutuhan dan bertahan hidup. Di sisi lain, bagaimana peran suami yang seharusnya menjadi pelindung dan pencari nafkah keluarga. Sayangnya, tak sedikit para suami pun justru ikut berperan dan mendukung dengan mencari jalan pintas demi menyambung hidup. Tak jarang pula, kesulitan seperti ini dimanfaatkan oleh sejumlah orang untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan. Sungguh, kondisi seperti ini menggambarkan masyarakat yang sakit.


Apa yang menyebabkan kebanyakan masyarakat berpikiran sempit? Mereka seakan tidak memiliki keimanan terhadap Allah Swt.. Selemah itu kah pemahaman umat, sehingga kebanyakan umat tidak lagi berpikir halal haram dalam melakukan suatu perbuatan.


Jika kita telaah lebih dalam, akar permasalahan kondisi seperti ini adalah penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang menghilangkan peran riayah (pengurusan) oleh negara. Para pemangku kebijakan hanya sibuk memperkaya diri, sementara rakyat harus bersaing satu sama lain untuk bisa bertahan hidup. Ditambah lagi, adanya problem ekonomi rumah tangga dikarenakan berbagai kebutuhan hidup masyarakat seperti kesehatan dan pendidikan tidak dijamin oleh negara. Masyarakat harus memikirkan sendiri dengan biaya yang mahal. Sebaliknya, penghasilan rakyat terus disunat dengan berbagai pajak dan pungutan lainnya. 


Tak heran, kondisi masyarakat yang jauh dari kesejahteraan ini mendorong tindakan-tindakan nekat dan di luar fitrahnya. Berbagai tekanan ini jelas membuat masyarakat stres dan depresi, sehingga mengambil jalan pintas yang tidak dibenarkan dalam hukum negara maupun syariat Islam.


Untuk itu, peran negara sangat lah penting. Negara berkewajiban memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat yang mencakup; sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan, sehingga rakyat akan merasakan kesejahteraan. Suami maupun istri merasa tentram karena kebutuhan pokoknya terjamin. Di samping itu, negara harus mampu menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi para laki-laki sehingga perempuan tidak dituntut untuk bekerja demi membantu ekonomi keluarga. Dengan begitu, perempuan bisa optimal menjalankan peran utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah. Kecukupan nafkah suami untuk istri merupakan salah satu aspek dalam mewujudkan ketentraman rumah tangga. Tentu saja, periayahan dan fungsi negara seperti ini, hanya bisa diwujudkan dengan penerapan sistem Islam secara kaffah, bukan sistem kapitalisme sekarang ini.


Wallahu A'lam Bish Shawab.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel