Potret Kelam Kehidupan

 


Oleh: Finis

Sesekali dia mengelus tubuh kurus anaknya, yang terbaring di tepi jalan dengan beralaskan tikar plastik. Dari raut wajahnya, ada kesedihan yang mendalam, merenungi nasib dirinya dan anak-anaknya,tanpa seorang suami. Betapa kerasnya kehidupan. Setiap hari mengayu sepeda bututnya, dilengkapi dengan box plastik yang berisi nasi bungkus untuk dijajakan dipinggir jalan. Tidak begitu dekat jalan yang dia tempuh. Paling tidak 10 km setiap hari hingga sampai ditempat yang dia tuju. Setiap menjelang malam, hampir maghrib, dia telah sampai ditempat itu. Di pinggir jalan, sambil menunggu pembeli, dia membawa kedua anaknya yang berusia 6 tahun dan 2 tahun.Sementara di tempat kosnya, dia meninggalkan anaknya yang seusia SMP, dengan meninggalkan uang 5000 untuk membeli mi instan sebagai makan malam.

Berharap Tuhan memberikan sedikit rizki yang berkah dari hasil nasi bungkus yang dijajakannya. Demi menyambung hidup keluarganya. Dinginnya udara malam dan sekali-kali terasa hempasan debu jalanan menerpa wajah dan tubuh-tubuh ringkih anaknya, yang terasa kurang terpenuhi kecukupan gizinya tersebab terlalu sering konsumsi mi instan. Ya Tuhan tabahkanlah hati ini dalam menghadapi ujianmu, gumamnya dalam hati. Entah sampai kapan jalan seperti ini harus dia lalui. Nelangsa dan sengsara, tetapi harus tetap tegar, demi sang buah hati. Di depan anak-anaknya, dia mampu menyembunyikan air matanya. Ketika anak-anaknya telah terlelap tidur, dia tak tahan lagi membendung air matanya. Air mata seorang ibu yang terzalimi oleh seorang suami, sehingga dia berjuang sendiri demi hidup  yang masih terus berjalan.

Di sisi lain tampak sosok anak kecil seusia kelas 4 SD, sedang menjajakan roti dagangannya di atas nampan. Tampak raut wajah yang santai tanpa beban, dia terus berjalan memutari area restoran di ibukota provinsi. Terkesan menggemaskan, karena tubuhnya yang lumayan berisi. Diam-diam seseorang mendekatinya dan menawari makan. Dan si anak ini bersyukur dengan berucap Alhamdulillah, karena sejak pagi perutnya belum terisi kecuali air putih. Dengan gaya yang santai dan omongannya yang terkesan cuek, anak ini bercerita kalau dirinya sudah biasa dengan kerasnya kehidupan dijalanan, sudah biasa menghadapi para preman yang setiap waktu memalaknya. Karena sang anak ini berjualan ditempat preman berkuasa. Bahkan si bocah bercerita kalau dirinya sudah berjualan sejak usia 5 tahun, waktu masih sekolah TK. Dia ditelantarkan oleh ibunya. Sejak ibunya pisah dengan bapaknya.                 

Terpaksa dia tinggal bersama neneknya yang kondisinya juga kekurangan. MasyaAllah, dalam kondisi seperti itu, bocah berusia 5 tahun pun harus terpaksa menjadi tulang punggung keluarga. Semoga Allah memberi kekuatan fisik dan mentalnya. Waktu dan kondisi yang menjadikan bocah sekecil ini mampu menjalani kehidupan layaknya tulang punggung keluarga. Bergelut dengan kerasnya jalanan, dia terus menjajakan jualannya pantang meminta-minta. Rutinitas sehari-hari usai pulang sekolah, bergegas berubah menjadi anak laki-laki hebat, bak orang dewasa, demi menjemput rezeki untuk diri dan neneknya. Si bocil seolah-olah dipaksa mampu menaklukkan rintangan dan ujian dalam hidupnya.

Inikah yang terjadi saat ini? Sosok ibu yang berjuang sendiri demi anak-anaknya. Dan sosok bocil yang begitu tegar menghadapi kerasnya jalanan demi menghidupi keluarganya. Siapapun akan merasa sedih dan terharu hingga meneteskan air mata, ketika ke-dua kisah itu ada di hadapan kita. Dan itupun mereka tidak sendiri. Masih banyak kisah  yang sama menimpa para ibu dan anak-anak.


Haruskah ini terjadi? Sebenarnya ini tanggung jawab siapa? Negeri yang kaya SDA nya ini, tidak serta merta menjadikan penduduknya sejahtera. Sebenarnya apa yang terjadi?


Kembali pada kisah, saat kepemimpinan khalifah Umar Bin Khattab.

Suatu malam saat beliau blusukan untuk mengetahui kondisi rakyatnya. Tiba-tiba terdengar suara anak kecil menangis dari sebuah rumah. Dan melihat seorang wanita yang berada di depan tungku seolah memasak sesuatu. Beliau bertanya mengapa anaknya menangis? 

Dengan sedih, si ibu menceritakan keadaannya. Ia mengatakan bahwa anaknya menangis karena kelaparan sementara ia tak punya makanan apapun di rumahnya. Ibu ini juga mengatakan bahwa yang sedang dimasak adalah sebongkah batu untuk menghibur sang anak seolah-olah ibunya sedang membuat makanan.

Tanpa pikir panjang, Umar segera pulang dan mengambil sekarung gandum. Ia membawa sendiri karung gandum di punggungnya dan menuju ke rumah ibu yang memasak batu.

Setelah sampai di rumah ibu ini, Umar langsung memasakkan sebagian gandum ini untuk dijadikan makanan. Setelah matang, ibu dan anak ini dipersilahkan makan sampai kenyang.

Umar lantas pamit setelah ibu dan anak ini makan dengan cukup. Ia kemudian berpesan agar esok harinya anak dan ibu datang ke Baitul Mal menemui Umar untuk mendapatkan jatah makan dari negara.


Sungguh keteladanan yang luar biasa dari seorang pemimpin umat. Dan sungguh patut diperjuangkan kembali sistem kehidupan yang melahirkan pemimpin yang bertakwa, yang menangis karena takut azab akhirat menimpanya. Akibat kepemimpinannya yang tidak adil kepada rakyatnya.


Masihkah berharap kebaikan di kehidupan saat ini? 

Harapan itu hanya ada pada Islam.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel