Membangun Visi Perubahan Yang Sahih



_Oleh: Mia Izzah_

Ribuan masa menggelar aksi unjuk rasa di depan kompleks DPR Jakarta pada Kamis 22 Agustus 2024. mereka datang menuntut DPR agar tidak mengangkangi putusan MK soal ambang batas (Threshold) syarat pencalonan kepala daerah dan batas kandidat peserta Pilkada 2024. mereka berasal dari berbagai kalangan mulai dari mahasiswa, masyarakat sipil, buruh, aktor/aktris, hingga komedian. Salah satu komedian yang hadir adalah Muhammad Rizki Rakelna (Rigen). dan rigen mengatakan Dia hadir dalam unjuk rasa tersebut sebagai bentuk perlawanan terhadap legislator yang mau mengubah putusan MK tentang RUU Pilkada “Ketika pejabat mulai melawak, saatnya komedian yang melawan” kata Rigen (Tempo.co, Kamis 22 Agustus 2024) 


Dinamika perpolitikan akhir-akhir ini memang menarik untuk diikuti, dicermati, dan dikritisi. Ngeri-ngeri sedap kata para pengamat. Termasuk perihal kontestasi Pilkada 2024 yang terendus banyak diwarnai manuver politik yang makin ambisius dan dibawakan secara vulgar dan brutal oleh para elit politik. Bahkan pragmatisme yang mereka pertontonkan semakin menggila. mereka tak lagi peduli dengan idealisme apalagi ideologi yang ada hanya meraih atau mempertahankan kekuasaan. Hari ini lawan besok bisa jadi kawan, hari ini oposisi besok bisa jadi koalisi begitu juga sebaliknya. Tabiat bunglon pun yang acap kali bisa berubah mengikuti perubahan kondisi dan situasi ditampilkan oleh para penggiat demokrasi aturan pun seenaknya diubah sesuai selera dan kepentingan mereka. Termasuk RUU Pilkada pasca putusan MK. Tak khayal bermunculan narasi politik dinasti menyeruak seantero negeri.


Bagi orang yang terjaga kewarasannya pasti punya ghiroh untuk melakukan perubahan dari kondisi yang tidak baik-baik saja seperti saat ini ke arah yang lebih baik lagi. Bahkan akan melakukan langkah perlawanan jika disinyalir di depan mata mereka terindikasi adanya kecurangan, manipulasi dan kedzaliman. Apalagi secara gamblang dilakukan oleh para elit politik dan penguasa dengan invisible hands (Tangan-Tangan Kekuasaan). Dinamika perpolitikan yang amburadul inilah yang memicu kekecewaan dan kemarahan masyarakat. Dan puncaknya masyarakat menuntut perubahan. Maka narasi perubahan pun kencang digaungkan berharap kebaikan akan datang. Namun sayang ghiroh yang besar, tekat yang kuat tidak diimbangi konsep yang mendasar dan jelas untuk perubahan. Alhasil, perubahan yang mereka perjuangkan berujung kepada kekecewaan dan kegagalan sebagaimana langkah perubahan yang selama ini mereka lakukan.


Ironisnya lagi mereka tak menyadari bahwa pusaka demokrasi yang mereka simpan dan puja dalam hati justru menjadi biang kerusakan dan kezaliman yang melanda negeri ini. Bahkan suatu hal yang lumrah jika sifat rakus dan Brutus akan ada dalam sistem demokrasi. Karena sistem ini lahir dari rahim kapitalis sekuler yang mempunyai prinsip pemisahan agama dari kehidupan maka tidak heran jika dan standar perbuatan bukan lagi halal dan haram. Lantaran idealisme perjuangan mereka hanya meraih materi dan kekuasaan semata. 


Realitas di atas seharusnya cukup menjadi pelajaran bagi para penggerak perubahan termasuk umat Islam yang mayoritas di negeri ini. Perubahan lewat jalan demokrasi itu hanya semu (ilusi) bukan perubahan yang hakiki dan sahih. 


Perubahan hakiki dan shahih 

Syekh Ahmad ‘Athiyat, di dalam bukunya, Ath-Thariq, Mengatakan:

“Sungguh manusia tidak akan berpikir tentang perubahan, kecuali jika ia menyadari bahwa di sana ada realitas yang rusak/buruk.... Maka harus ada kesadaran terhadap realitas pengganti...” Merujuk dari kitab Ath-Thariq tersebut. jadi indikasi dan penegasan bahwa kesadaran akan realitas yang rusak memicu tuntutan perubahan. Dan tak mungkin pula kita berharap pada perubahan jika kita hanya berdiam diri saja. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ar-Ra’du:11 “sungguh Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah pada dirinya sendiri.”


Dan perubahan keadaan yang dimaksud tentu tidak hanya didasarkan pada perubahan persen pemimpin karena terbukti sudah berulang kali berganti pemimpin namun tak dapat membawa pada perubahan yang signifikan kalaupun ada itu hanya sedikit saja. Semestinya umat Islam kembali kepada tuntunan Alquran yang mengurai bahwa penyebab kerusakan umat manusia adalah akibat meninggalkan aturan Allah (QS . Ar-Rum: 41). Allah juga menegaskan bahwa penyebab derita umat manusia karena mereka berpaling Alquran (QS At-Thohah: 124)

Konsep inilah seharusnya menjadi konsep setiap individu, kelompok bukan sekedar mengusung calon pemimpin muslim tetapi sekaligus pendorong dan memastikan pemimpin tersebut menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan dan untuk mewujudkannya harus ditopang dengan penerapan sistem Islam di bawah naungan Daulah Khilafah. Dan untuk wujudkan itu semua tidak bisa dilakukan oleh individu tapi umat harus berjamaah dan terorganisir dan bersifat kutlah syiasi dan kutlah ideologis.


 Seharusnya keberadaan kutlah syiasi menjadi Garda terdepan untuk memberikan pemahaman terhadap umat,menyeru kepada kebaikan dan Amar ma'ruf nahi mungkar termasuk kepada penguasa bukan malah jadi tameng pertahana kerakusan penguasa dan kelompoknya saja.

sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Imran: 104

“Dan Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.”


Wallahu alam Bishowab

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel