Matinya Keadilan dalam Sistem Demokrasi
Oleh: Hamsina Ummu Ghaziyah
Potret matinya keadilan di negeri ini, terpampang nyata dari beberapa kasus para pejabat yang mendapat perlakuan khusus atas bentuk tindak kriminal yang sudah mereka dilakukan. Sebagai contoh, kasus yang tengah menarik perhatian publik beberapa waktu lalu.
Dimana, perempuan berinisial CAT menjadi korban asusila yang dilakukan oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat Hasyim Asy'ari. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada Rabu, 3 Juli 2024 secara sah menyatakan Hasyim terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) dalam bentuk pelecehan. (Viva.co.id,5/7/2024)
Presiden Joko Widodo kemudian memberhentikan secara tidak hormat Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari periode 2022-2027 atas kasus tindak asusila. Keputusan tersebut tertuang dalam keputusan presiden (Keppres) nomor 37/P.
Selain itu, pengacara keluarga mendiang Dini Afrianti, mengumumkan akan membuat laporan kepada Hakim Pengawas (Bawas) di Mahkamah Agung setelah hakim ketua Erentua Damanik menjatuhkan vonis bebas untuk Gregorius Ronald Tannur dari dakwaan kasus pembunuhan Dini Sera Afrianti. (Surabayapostnews.com,24/7/2024)
Kasus pembunuhan Dini Sera Afrianti yang melibatkan Ronald Tannur selaku anak dari mantan anggota DPR RI Edward Tannur terjadi pada tanggal 4 Oktober 2023 lalu di salah satu tempat hiburan malam di Surabaya. Kasus pembunuhan berawal dari penganiayaan saat terjadi percekcokan antara keduanya. Ronald melakukan pemukulan, menendang hingga melindas Andini dengan mobil yang dikendarainya.
Atas tindak kriminalitasnya itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ahmad Muzzaki menuntut Ronald Tannur selaku terdakwa dengan pasal 338 KUHP dengan tuntutan selama 12 tahun penjara serta membayar restitusi bagi keluarga korban sebesar Rp 236,2 juta. Namun sayang, tuntutan itu tidak di indahkan oleh Ketua Majelis Hakim, Erentua Damanik karena menilai terdakwa masih berupaya melakukan pertolongan terhadap korban pada masa kritis. Terdakwa disebut sempat membawa korban ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Majelis Hakim juga menilai tidak adanya unsur penganiayaan yang dilakukan terdakwa terhadap korban. Padahal, dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah menghadirkan barang bukti berupa rekaman CCTV dan hasil visum. (Ket: Dari berbagai sumber)
Peneliti bidang sosial dari The Indonesia Institute (TII), Dewi Rahmawati Nur Aulia memandang vonis bebas Ronald Tannur menjadi alarm berbahaya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan oleh penegak hukum. Vonis bebas Ronald yang diputuskan majelis hakim PN Surabaya ini menjadi bukti tumpulnya keadilan pada perempuan korban kekerasan. (Tirto.id)
Kedua kasus di atas hanyalah sedikit dari gambaran lemahnya hukum dalam sistem demokrasi. Sejatinya, pengadilan dan penegak hukum adalah satu-satunya jalan bagi masyarakat untuk mendapatkan keadilan. Namun, pengadilan dan penegak hukum dalam sistem demokrasi harus berada dalam kendali penguasa. Rakyat yang seharusnya mendapatkan perlindungan, keadilan, dan rasa aman dari segala bentuk kejahatan kini harus mengadu dan berharap kemana, sementara yang mereka hadapi adalah para penguasa zalim?
Matinya keadilan dalam sistem demokrasi turut pula dirasakan oleh rakyat lemah. Seperti pada kasus seorang kakek berusia 68 tahun bernama Samirin di Sumatera Utara yang harus divonis hukuman penjara 2 bulan 4 hari oleh Pengadilan Simalungun akibat terbukti bersalah memungut sisa getah pohon karet di perkebunan milik PT Bridgestone. Ia mengambil getah seberat 1,9 kg yang jika dirupiahkan sebesar Rp 17.000. Getah itu akan ia jual kepada para pengepul getah agar mendapatkan uang. (15/1/2020)
Ada pula kasus nenek Asyani (70) seorang warga Dusun Krastal, Desa Jatibanteng, Kecamatan Jatibanteng, Situbondo yang dijebloskan ke penjara pada 15 Desember 2014. Ia dinyatakan mencuri 7 kayu jati yang ditebang oleh suaminya dari lahan yang disebut Perhutani sebagai miliknya. Padahal, ia merasa lahan tersebut adalah miliknya sendiri, dan tidak masuk lahan milik perusahaan BUMN itu. (Kompas.com)
Sungguh miris penegakan hukum dalam sistem demokrasi, mereka yang memiliki jabatan dan kekuasaan ketika melakukan tindakan kriminal seperti korupsi, melakukan pelecehan, pembunuhan dan sebagainya justru diberi hukuman ringan bahkan sampai dibebaskan. Sementara, bagi rakyat lemah, ketika melakukan tindakan kriminal, bahkan karena terpaksa demi menyambung hidup sekalipun, justru diberi hukuman berat. Inilah tabiat hukum dalam sistem demokrasi. Tumpul ke atas, namun tajam ke bawah.
Realita ini menunjukkan lemahnya hukum dalam sistem demokrasi, karena sejatinya hukum yang diterapkan berasal dari akal manusia yang terbatas dan lemah pula. Ditambah lagi jika harus terjebak dalam konflik kepentingan. Pafahak, lemahnya penegakkan hukum sejatinya membuka lebar pintu kejahatan lainnya. Maka dari itu, sudah selayaknya sistem rusak ini dicampakkan dan umat kembali pada penerapan sistem Islam kaffah yang membawa kemaslahatan serta menjamin keadilan bagi seluruh umat manusia.
Sungguh, keadilan hakiki pernah dirasakan umat ketika syariat Islam diterapkan secara total dalam bingkai Khilafah Islamiah.
Salah satu puncak peradaban emas Khilafah adalah penerapan syari'at Islam di bidang hukum dan peradilan. Keberhasilan yang gemilang di bidang ini membentang sejak sampainya Rasulullah saw. di Madinah tahun 622 Masehi hingga tahun 1918 Masehi (1336 H) ketika Khilafah Utsmaniyah jatuh ke tangan kafir penjajah (Inggris). (Anh-Nabhani , Nizham Al Islam, hal 44)
Kunci utama keberhasilan tersebut karena hukum yang diterapkan adalah hukum Allah Swt., yakni syariah Islam. Sebagaimana Allah Swt. berfirman,
Ĝ£َÙَĜُÙْÙ َ Ĝ§ÙْĜĴَĜ§ÙِÙِÙَّĜİِ ÙَĜ¨ْĜşُÙÙَ ÙَÙ َÙْ Ĝ£َĜْĜ³َÙُ Ù ِÙَ Ĝ§ÙÙَّÙِ ĜُÙْÙ ًĜ§ ÙِÙَÙْÙ ٍ ÙُÙÙِÙُÙÙ
"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?" (TQS al-Maidah [5]: 50).
Syaikh Wahbah az-Zuhaili menerangkan, ayat ini bermakna bahwa tak ada seorang pun yang lebih adil daripada Allah Swt. juga tak ada satu hukum pun yang lebih baik daripada hukum-Nya (Az-Zuhaili, At-Tafsir al-Munir, 6/224).
Karenanya, wajib bagi seluruh kaum muslim berhukum pada hukum Allah Swt., yakni kembali pada syariat Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan As Sunnah. Segala hal yang melanggar syari'at Allah, meninggalkan yang wajib dan mengerjakan yang haram akan dikenakan sanksi tegas dan membuat jera pelakunya.
Ketegasan sanksi dalam syariat Islam ini merupakan cara paling efektif dan solutif dalam memberantas kejahatan. Sanksi hukum dalam syari'at Islam berfungsi sebagai jawabir (penebus dosa) dan zawajir (pencegah berulangnya kejahatan yang sama oleh orang lain).
Dalam kitab Nizham Al 'Uqubat, Abdurahman Al Maliki menyatakan, sanksi pidana dalam Islam untuk pelaku pembunuhan sengaja adalah salah satu dari tiga jenis sanksi pidana syariah. Hal ini bergantung pada pilihan yang diambil keluarga korban. Pertama, hukuman mati atau qishash. Kedua, membayar diyat atau tebusan/uang darah. Ketiga, memaafkan atau Al 'Afwu.
Adapun pada kasus pemerkosaan, jika dilakukan tanpa ada unsur ancaman dengan senjata maka hal ini termasuk dalam zina. Sanksi bagi pelanggarnya adalah mendapatkan had yang telah ditetapkan terhadap pelaku zina. Jika pelaku belum menikah (ghairu mushan) hukumnya adalah dicambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun. Sementara jika pelaku sudah menikah (mushan) maka akan dirajam sampai mati.
Demikianlah bagaimana penetapan hukum dalam Islam yang dilandaskan pada wahyu Allah, bukan bedasarkan akal manusia yang terbatas dan lemah. Khilafah akan melakukan upaya pencegahan dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah. Selain itu, Khilafah akan menugaskan para penegak hukum yang amanah serta bertakwa kepada Allah Swt. Sungguh, hanya Khilafah yang mampu memberi rasa aman serta keadilan hakiki bagi seluruh umat manusia.
Wallahu A'lam Bishshowab