Krisis Finansial Mengikis Naluri Keibuan
Oleh: Jelvina Rizka (Pegiat Literasi)
Tak dapat dipungkiri bahwa saat ini tekanan ekonomi terus membawa dampak yang mendalam pada kehidupan keluarga. Salah satu aspek yang paling disoroti dalam hal ini ialah peran serta naluri keibuan, sebagai sosok yang identik dengan kelembutan dalam pengasuhan, penuh kasih sayang serta menyajikan perhatian tanpa syarat. Namun, ketika kebutuhan finansial menjadi prioritas utama, banyak ibu yang berjuang agar tetap mampu mempertahankan kualitas pengasuhan terhadap anaknya. Bahkan tak jarang, alternatif ekstrim pun dilakukan dengan dalih himpitan kebutuhan ekonomi.
Seperti dilansir dari KOMPAS.com-seorang ibu rumah tangga berinisial SS (27) ditangkap karena menjual bayinya Rp.20 juta melalui perantara di Jalan Kuningan, Kecamatan Medan Area, Kota Medan, Sumatera Utara. Wakil Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Besar Medan, AKP Madya Yustadi mengatakan, kejadian itu berlangsung pada Selasa (6/8/2024). Mulanya, petugas mendapatkan informasi dari warga. Bahwa akan ada transaksi jual beli bayi di rumah sakit daerah Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang. “Disitulah kami menangkap 3 pelaku, lalu berlanjut ke SS di kediamannya di Kota Medan. Peran MT ini sebagai perantara sedangkan T dan NJ adalah pembeli bayi,” ucapnya. “SS menjual bayinya Rp.20 juta dan MT rencananya diupah Rp.3 jutaan. Alasan SS karena kesulitan ekonomi. Sementara si pembeli bayi ini karenan memang belum memiliki anak,” sambungnya.
Melalui kejadian ini, seolah membuktikan bahwa tekanan untuk bekerja lebih untuk mencari penghasilan sekalipun mengorbankan waktu demi stabilitas keuangan, membuat naluri seorang ibu yang penuh cinta dan kesabaran terkikis secara perlahan. Krisis ini bukan hanya mengancam kesejahteraan materi, tetapi juga merusak fondasi emosional yang selama ini menjadi penopang utama dalam tumbuh kembang anak. Lantas, apakah sebab utama yang melatar belakangi fenomena ini?
Naluri keibuan merupakan anugerah terbesar yang Allah berikan kepada seorang wanita, sebab perannya yang sangat dihargai dalam proses pembentukan dan pemeliharaan keluarga. Ketika krisis finansial mengikis naluri keibuan, Islam memandang ini sebagai suatu masalah serius yang perlu diatasi dengan kebijakan ekonomi yang adil dan kesejahteraan sosial yang kuat. Islam telah mengatur peran anggota keluarga sedemikian rupa, dimana suamilah yang berperan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga, serta berkewajiban penuh untuk menyediakan nafkah yang cukup bagi istri dan anak-anaknya. Jika krisis finansial mengganggu keseimbangan ini, maka hal tersebut dapat berdampak negatif pada kemampuan seorang ibu untuk memberikan perhatian dan kasih sayang yang optimal kepada anak-anaknya.
Fenomena krisis finansial yang mengikis naluri keibuan dapat dilihat dari perspektif Islam sebagai dampak dari sistem ekonomi yang tidak berlandaskan prinsip-prinsip syariah. Dalam Islam, ekonomi yang berkeadilan dan berbasis pada nilai-nilai etika serta moralitas tinggi sangat ditekankan. Ketika masyarakat terjebak dalam sistem ekonomi yang eksploitatif, materialistis, dan penuh riba, fokus pada kekayaan duniawi menjadi dominan, sehingga nilai-nilai kekeluargaan dan peran keibuan cenderung terabaikan. Krisis finansial yang berulang juga dapat menyebabkan tekanan ekonomi yang besar, memaksa para ibu untuk bekerja lebih keras di luar rumah, mengurangi waktu yang mereka habiskan untuk mengasuh dan mendidik anak-anak. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi melemahkan naluri keibuan yang seharusnya menjadi pondasi penting dalam membentuk generasi dengan kepribadian Islam dan berbudi pekerti. Islam menekankan pentingnya keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan material dan spiritual, serta mengingatkan umat untuk menjaga peran-peran alamiah mereka dengan bijaksana, termasuk peran keibuan, sebagai bagian dari tugas mereka dalam membangun masyarakat yang harmonis dan berkelanjutan.
Lebih jauh lagi, kapitalis-sekuler menciptakan budaya konsumerisme yang mendorong individu untuk mengutamakan kesenangan materi dan hiburan pribadi, seringkali mengabaikan pentingnya waktu berkualitas dengan keluarga. Dalam konteks ini, naluri keibuan secara sadar tidak hilang sepenuhnya, tetapi sering kali terdeduksi dan mengalami perubahan bentuk. Perempuan masih memiliki hasrat untuk melindungi dan merawat anak-anak mereka, tetapi sistem kapitalisme-sekulerisme-lah yang membuat mereka harus beradaptasi dan seringkali mengorbankan aspek-aspek tertentu dari naluri tersebut demi memenuhi tuntutan sosial dan ekonomi yang ada.
Dalam sudut pandang Islam terkait permasalahan ini, dapat diatasi dengan kembali pada nilai-nilai Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan, tanpa terkecuali peran ibu dalam keluarga dan masyarakat. Islam menempatkan ibu sebagai pilar utama dalam pembentukan generasi dengan kepribadian Islam, serta menempatkan keluarga sebagai institusi sentral dalam kehidupan umat. Melalui penguatan peran ibu dalam keluarga, menanamkan nilai-nilai Islam dalam keluarga, keseimbangan peran dalam keluarga, serta yang paling penting ialah pengaturan sistem kehidupan berbasis syariah, tentu akan mampu melindungi naluri keibuan dari kikisan kapitalisme-sekuler.
Islam mendorong terciptanya lingkungan keluarga yang stabil melalui pembagian peran yang adil antara suami dan istri, serta menjamin hak-hak finansial wanita melalui mahar, nafkah, dan hak warisan. Selain itu, zakat dan sedekah berfungsi sebagai mekanisme redistribusi kekayaan yang dapat meringankan beban finansial keluarga yang mengalami kesulitan, sehingga memungkinkan ibu untuk lebih fokus pada peran keibuannya tanpa dibebani oleh tekanan ekonomi. Islam juga menekankan pentingnya taqwa dan tawakkal dalam menghadapi krisis, dimana kesabaran dan keyakinan pada ketentuan Allah memberikan kekuatan moral dan mental bagi ibu untuk tetap menjalankan perannya dalam membentuk generasi yang lebih baik.
Wallahu A’lam Bishawab....