MINYAKITA, BUKAN MINYAK KITA
Oleh : Irohima
Saat ini, minyak goreng menjadi salah satu dari sekian banyak kebutuhan pokok yang harganya sering kali tidak stabil, harga minyak goreng cenderung mengalami kenaikan yang signifikan. Jika dulu kenaikan harga terjadi setiap tahunnya, sekarang, harga minyak bisa berubah naik hanya dalam hitungan bulan saja. Isu kenaikan minyak goreng Minyakita kini kembali menghangat di tengah semua kesulitan yang mendera rakyat.
Pemerintah resmi menaikkan harga eceran tertinggi Minyakita yang semula Rp 14.000 menjadi Rp 15.700. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengumumkan kenaikan ini dalam Surat Edaran Nomor 03 Tahun 2023 tentang Pedoman Penjualan Minyak Goreng Rakyat, kenaikan ini didasari oleh penyesuaian harga dengan biaya produksi yang terus mengalami kenaikan dan fluktuasi nilai tukar rupiah ( Liputan6.com, 20/07/2024 ).
Langkah pemerintah menaikkan harga eceran tertinggi Minyakita mengundang reaksi kritis dari beberapa ahli yang menyebut bahwa kenaikan harga ini justru akan menggerus daya beli masyarakat yang sudah semakin rendah. Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik , Achmad Nur Hidayat juga mengungkapkan kebingungannya atas dalih yang dipakai Kemendag dalam menaikkan HET Minyakita. Menurutnya kenaikan HET Minyakita adalah langkah yang kurang tepat, mengingat Indonesia merupakan negara penghasil sawit terbesar di dunia dan sebagian besar bahan baku utama produksi berasal dari dalam negeri. Produksi CPO atau minyak sawit mentah Indonesia mengalami kenaikan sekitar 7,15% pada tahun 2023 yakni produksi sebesar 50,07 juta ton dari yang sebelumnya 46,73 juta ton di tahun 2022. Achmad juga menjelaskan kebijakan ini berpotensi memperburuk kondisi perekonomian rakyat dan diprediksi meningkatkan inflasi sebesar 0,34&.
Disisi lain, harga Minyakita justru tembus hingga angka Rp 16.000 di pasar tradisional. Harga yang beredar di pasar tradisional justru lebih tinggi dari harga terbaru Minyakita yang ditetapkan pemerintah. Ini membuktikan bahwa kebijakan ini begitu longgar untuk diotak-atik. Kebijakan HET Minyakita sebesar Rp 15.700 tentu akan berdampak besar pada ekonomi rakyat karena kebijakan ini keluar di saat harga-harga pangan masih tinggi .
Minyakita adalah merek dagang untuk minyak goreng sawit yang dimiliki oleh Kementerian Perdagangan dan terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM . pada awal peluncuran, minyakita memiliki HET sebasar Rp 11.000. Minyakita diproduksi awalnya dimaksudkan untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng dan tingginya harga minyak yang terjadi pada akhir 2021 hingga pertengahan 2022, pada bulan Oktober 2021 MInyakita sempat mengalami lonjakan harga hingga menyentuh angka Rp 20.000/liter. Hal ini sempat menjadi isu panas karena kelangkaan dan harga yang terlampau mahal.
Tingginya harga minyak saat itu dikarenakan karena harga CPO (crude palm oil) melambung hingga USS 1.340/mT atau setara dengan Rp 19.291.243. dan langkanya minyak goreng dipengaruhi juga oleh sikap para pengusaha yang lebih memilih ekspor ketimbang mencukupi kebutuhan minyak dalam negeri. Hal ini tentu tak lepas dari karakter kapitalisme, di mana keuntungan akan selalu menjadi prioritas utama, nilai minyak yang menjadi lebih tinggi saat diekspor tentu berpotensi besar mendatangkan keuntungan bagi perusahaan. Jika dulu tingginya harga CPO menjadi alasan naiknya harga minyak masih bisa dicerna, kini saat produksi CPO meningkat, maka sungguh membingungkan jika kemudian tingginya biaya produksi dan fluktuasi nilai tukar rupiah dijadikan alasan naiknya kembali HET minyakita.
Dengan predikat sebagai negara penghasil sawit terbesar, Indonesia harusnya mampu mencukupi kebutuhan pokok rakyat akan minyak goreng, bahkan bisa lebih dari itu. Namun seringnya harga minyak meroket dan ketersediaan barang yang kerap langka menunjukkan adanya kesalahan dalam tata kelola perekonomian akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme saat ini. Dalam pemerintahan kapitalistik, seluruh kebijakan yang lahir akan selalu memprioritaskan kepentingan para kapitalis, mereka bahkan boleh mengintervensi hampir setiap kebijakan, mulai dari produksi sampai distribusi, hingga tak mengherankan jika pengaturan terkait kebutuhan untuk rakyat cenderung tidak pro rakyat. Kebijakan yang diterapkan juga sering berubah-ubah. Peran negara dalam kapitalisme yang dimarginkan membuat kegiatan produksi hingga distribusi lebih banyak dikuasai oleh perusahaan, di mana dalam aspek distribusi, mereka akan memperpanjang rantai distribusi yang mengakibatkan harga semakin mahal.
Berbeda halnya dalam Islam, negara dalam Islam wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyat dengan cara yang mudah dan murah. Negara akan menerapkan kebijakan produksi, distribusi hingga konsumsi terkait pengelolaan sawit. Dalam hal produksi, negara akan mengeksplorasi lahan untuk memproduksi sawit secara optimal sesuai syara tanpa merusak ekosistem alam dan mengalihfungsikan lahan seperti yang ramai terjadi saat ini. Begitu juga dalam pendistribusian barang, negara dalam Islam akan melalukan distribusi yang adil dan merata dan juga akan melarang kegiatan ekspor, selagi kebutuhan rakyat belum tercukupi. Negara dalam Islam akan memastikan dan menjamin ketersediaan seluruh bahan pangan termasuk minyak goreng hingga kasus kelangkaan barang akan dapat diatasi. Negara juga akan menerapkan sanksi tegas bagi pelanggar aturan hingga praktik kecurangan, mafia atau kartel pangan bisa dihilangkan.
Hanya Islam yang bisa mewujudkan pangan yang murah dan mudah didapat serta, serta menghilangkan kesulitan rakyat dalam mencapai kesejahteraan.
Wallahualam bisshawab.