Mengajak Influencer Review IKN, Perlukah?
Oleh : Annisa Al Maghfirah
(Relawan Opini)
Akhir Juli lalu, Presiden Joko Widodo mengajak sejumlah influencer dan content creator untuk mengunjungi lokasi Ibu Kota Nusantara (IKN). Mereka memberi "warna lain" terhadap citra pembangunan IKN selama ini.
Pro Kontra
Menurut Staf Khusus Presiden, Grace Natalie, kehadiran influencer bersama Presiden Joko di IKN sebagai satu bentuk keterbukaan pada publik. Sementara analis politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menganggap hal tersebut hanya untuk memoles citra IKN agar positif. Sebab, pembangunan IKN tahap pertama belum sepenuhnya rampung menjelang akhir jabatan Jokowi (tempo.co,4/8/2024)
Sebelumnya, kita mendengar dan menyaksikan banyak kabar negatif soal pembangunan IKN. Mulai dari mundurnya ketua dan wakil ketua Otorita IKN, nihilnya minat investor asing di IKN, pembangunan yang belum rampung, penyingkiran masyarakat adat, sulitnya air bersih, serta banyak masalah lainnya. Namun, apakah fungsi mengajak influencer dan content creator ke IKN?
Watak Kapitalisme
Dalam laporan Reuters Institute edisi 2024 yang dirilis pada Juni lalu, mencatat: “Dalam hal sumber pemberitaan yang menarik perhatian utama orang-orang, kami melihat adanya kenaikan fokus pada para komentator yang partisan, influencers, dan kreator media muda, terutama yang menggunakan YouTube serta TikTok.”
Jadi, para influencer dan content creator yang memiliki banyak pengikut memiliki pengaruh untuk mempengaruhi mindset para pengikutnya. Misalnya mindset tentang IKN.
Lewat tindakan ini juga, pak Jokowi seolah-olah hendak menyiratkan bahwa presiden lebih percaya pada narasi yang dibuat oleh para influencer karena bisa diarahkan ketimbang berita yang dibuat media. Terutama media yang memiliki dimensi independen, kritis, cover both sides, check-recheck, dan lain-lain.
Salah satu persoalan besar pembangunan IKN juga adalah tidak adanya investor asing yang masuk ke IKN, padahal pembangunan IKN butuh biaya besar, yakni Rp466 triliun. Bahkan untuk mengundang investor asing, pemerintah sampai mengeluarkan Perpres Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) pada 11 Juli 2024 lalu. Yang mengatur rentang waktu Hak Guna Usaha (HGU) di IKN untuk para investor adalah sampai 95 tahun dan bisa diperpanjang sampai 95 tahun lagi. Total 190 tahun.
Deputi Bidang Pendanaan dan Investasi OIKN Agung Wicaksono mengatakan, saat ini baru investor lokal yang masuk dan nilai investasinya sebesar Rp41 triliun. Angka itu sangat jauh dari total investasi yang ditargetkan. Sedangkan dana APBN sendiri sudah terkuras Rp72,5 triliun dalam rentang 2022—2024. Lalu, kenapa harus mengundang para influencer yang tentu butuh anggaran juga?
Pencitraan, Jurus Andalan
Ke depannya, pemerintah seharusnya "mempercayakan" pemberitaan oleh jurnalis dari media massa ketimbang mengundang para pemengaruh yang hanya melihat sekilas dan tempat tertentu. Sebab, para jurnalis akan memberitakan secara obyektif apa yang sebenarnya terjadi pada IKN.
Para influencer dan content creator tidak mengenal praktik cover both sides, check dan recheck, apalagi menggali hal-hal yang ingin ditutup-tutupi oleh pemerintah. Jurnalis mempelajari itu semua. Karena itu, sudah sepantasnya jurnalislah yang memberikan laporan secara obyektif, transparan dan tanpa memihak kepentingan manapun. Apalagi untuk sebuah pencitraan.
Kita juga sama-sama mengetahui bahwa influencer dan kreator konten akan bertindak sesuai dengan kepentingan ekonomi tertentu. Mereka tentu saja akan membela pihak yang membayarnya. Konten yang mereka buat akan menambah viewers sebagai pemasukannya. Maka bisa jadi tidak akan menilai secara valid dan objektif.
Jika dilihat, para influencer dan content creator ini tidak mengunjungi penduduk setempat di kawasan IKN yang kehilangan lahan dan tempat tinggal mereka. Pembangunan IKN ini pun mengancam lingkungan dan kehidupan masyarakat sekitar. Ekosistem mangrove di Teluk Balikpapan seluas 2.603,41 hektar terancam rusak dan mengancam keberadaan berbagai satwa di sana.
Wajar, jika dikatakan kehadiran influencer dan content creator hanyalah untuk memuluskan pencitraan. Belum lagi, mengajak mereka membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Maka, ini adalah pemborosan.
Beginilah profil pembangunan dan watak pejabat di sistem kapitalisme. Tujuan pembangunan bukan untuk kemaslahatan rakyat. Dan pencitraan menjadi topeng bagi para pemimpin kapitalis untuk menutupi kebobrokan hasil dari kebijakannya. Sehingga, kesan baik perlu dibangun untuk terus menutupi “kegagalan” dari kepemimpinan mereka.
Padahal, jika mereka bekerja dengan baik, tentunya dengan aturan yang terbaik maka citra diri pejabat dan kebijakannya akan terasa baik secara langsung oleh rakyat. Walau tanpa pencitraan dan pemberitaan media. Dan hal itu tidak akan terwujud jika masih diatur dengan aturan buatan manusia.
Merindukan Sistem Islam
Islam memiliki paradigma tersendiri tentang kepemimpinan dan kekuasaan yang disebut sebagai ‘Khilafah’. Keduanya tegak di atas asas akidah yang lurus, yakni keimanan kepada Allah Taala. Alhasil, dalam paradigma Islam, kepemimpinan dan kekuasaan tidak lepas dari pertanggungjawaban, baik ketika di dunia maupun kelak di akhirat. Sehingga tidak akan main-main soal kepemimpinan dan kekuasaan, apalagi menjadikannya sebagai jalan untuk melakukan kezaliman.
Khalifah Umar bin Khaththab ra. pada masa pemerintahannya melarang pembangunan masjid yang akan menggusur rumah seorang Yahudi yang sudah tua. Serta pembangunan infrastruktur dalam Khilafah akan dilakukan secara efektif dan efisien oleh para arsitek, ahli tata kota, dan insinyur teknik sipil untuk menghasilkan infrastruktur dengan kualitas terbaik. Buktinya, bangunan Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir (dibangun 970-972 M) yang masih berfungsi dengan baik hingga saat ini.
Khilafah tidak antikritik dan membuka ruang diskusi dan muhasabah dari rakyat bagi pemerintah. Terdapat Majelis Umat (perwakilan kaum muslim) yang berfungsi sebagai saluran untuk melakukan muhasabah pada penguasa. Mereka juga akan menyampaikan pengaduan tentang kezaliman para penguasa atau penyimpangan pelaksanaan hukum-hukum Islam.
Wallahu a'lam bishowwab