Kapitalisasi Penyelenggara Haji, Bukti Negara Indonesia Gagal Mewujudkan Amanat Undang-Undang
Oleh: Ummu Haritsah
(Pengamat Publik)
Siapa yang tidak ingin menunaikan rukun Islam yang ke-5, semua muslim tentu menginginkannya. Hanya saja memang tak mudah untuk menunaikannya, faktor biaya adalah salah satu bagian yang menjadi kendalanya. Berbagai cara dilakukan untuk memperoleh cita-cita tersebut, diantaranya dengan menabung. Kadang butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa memperoleh kesempatan itu. Walaupun telah lunas ternyata kaum muslimin juga berburu untuk kuota haji.
Namun sayangnya penyelenggaraan haji tahun ini bermasalah. DPR menilai bahwa Penambahan 21 ribu kuota haji yang diduga untuk haji plus atau ONH plus, juga masalah maskapai penerbangan Garuda Indonesia, menjadi alasan utama pembentukan Pansus Haji. Ketua Timwas Haji DPR RI cak imin mengatakan sekarang ada kecurigaan di masyarakat mengenai distribusi kuota visa yang dianggap tidak adil antara kebutuhan antrean haji reguler dan yang digunakan oleh travel-travel tertentu yang berbasis haji khusus. Lanjutnya mengatakan kebijakan itu mencederai rasa keadilan masyarakat yang telah menunggu lama untuk bisa berhaji, dan dianggap melanggar undang-undang. (tribunnews.com, 22/7/2024)
Kesempatan berhaji haruslah dilandasi atas dasar amanat undang-undang dan pancasila. Sila ke-5 pancasila melegalisasi semua warga negara muslim mendapatkan keadilan yang sama.
Jauh panggang dari api, keadilah hanyalah mimpi demokrasi. Sudah menjadi rahasia umum bisnis Haji dan Umroh adalah bisnis yang menjanjikan. Tentu bisnis ini tiada bisa berjalan dengan baik jika travel tersebut tidak berkerja sama dengan pemerintah. Pemerintah pun tentu mendapatkan keuntungan yang besar dari penyelenggaraan haji plus (ONH plus). Semakin besar kuota yang dibuka maka semakin besar pula keuntungan yang didapatkan oleh pemerintah.
Haji adalah persolan ibadah sudah seharusnya pemerintah memberikan kondisi yang nyaman dan aman bagi jemaahnya. Dalam hal fasilitas, jemaah reguler dan haji plus mendapatkan perbedaan perlakuan fasilitas mulai dari keberangkatan sampai ibadah di mina dan arofah. Ibadah Haji harusnya menjadi mentum akselerasi keimaman dan pengokoh jiwa.
Miris memang ditengah sulitnya menabung untuk mecapai cita-cita untuk berhaji reguler, calon jemaah haji harus bersaing dengan orang yang lebih mampu untuk mendapatkan kesempatan dan fasilitas yang nyaman dalam beribadah. Inilah bukti bahwa negara kita negara kapitalis bahkan sampai urusan rukun iman saja kita menjadi ladang bisnis bagi penguasa dan pengusaha.
Negara harusnya menjadi pelayan masyarakat, memberi jaminan kenyamanan pada umatnya dalam bertaqarub pada Allah.
Dalam QS. Az-Zariat ayat 56 menunjukan bahwa tujuan penciptaan Allah adalah untuk beribadah. Maka sebagai negara yang berpenduduk sebagian besar kaum muslim, negara wajib menjadi pelindung dan pengayom untuk menjamin keberlangsungan seluruh ibadah termasuk di dalamnya adalah ibadah haji.
Bukan hal yang tidak mungkin, penyelenggaraan ibadah haji pernah dilaksanakan dengan sangat terstruktur dan sistematis. Sehingga ibadah haji bisa dijalankan dengan penuh rasa khusyuk. Khilafah ustsamaniah adalah salah satu contoh terdekat dimana proses penyelenggaraan haji mengutamakan asas pelayanan.
Persiapan sarana haji telah dimulai tiga bulan sebelum musim haji. Negara ‘Utsmani, di bawah pimpinan Sultan ‘Utsmani [Khalifah kaum Muslim], telah memberikan perhatian lebih dan besar kepada tempat ini. Lajnah Khusus, dengan kedudukan tinggi, yang berhubungan langsung dengan as-Shadr al-A’dham [semacam kepala pemerintahan], telah diberi tugas. Tugas utamanya adalah memonitor dan memperhatikan semua urusan rombongan haji di wilayah-wilayah Islam, serta menginstruksikan kepada wali di wilayah-wilayah itu untuk memenuhi kebutuhan rombongan, memastikan keamanan dan keselamatannya, serta menyiapkan seluruh sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Karena ini menunjukkan wibawa negara.
Kota-kota induk Islam, seperti Kairo [Mesir], Baghdad [Irak] dan Damaskus [Suriah] mulai mempersiapkan dan menyediakan sarana dan prasarana untuk rombongan haji. Wali di wilayah tersebut akan mengangkat Amirul Haji dari figur-figur yang dikenal mampu [berkompeten] dan bertakwa. Setelah itu, baru Amirul Haji mulai memilih pembantu dan orang-orangnya, seperti Qadhi, Panglima Detasemen yang menjaga keamanan, Amin Shurrah, Kepala Penulis [Basy Katib], Rais Mirah wa Tamwin, Penanggungjawab Rombongan [Hamladar], sebagai penanggungjawab juru masak dan pekerja, Penanggungjawab Bayariq wa Thabul [bendera dan genderang], yang disebut Bairqadar, Pembawa bendera, yang disebut Bairqaji. (Mahadatsyaufulharamain.com, 28/8/2016).
Pengaturan semacam ini membuat peluang kecurangan kecil, setiap bagian dari proses penyelenggaraan memiliki fungsi dan tanggung jawab masing-masing. Seorang muslim tentu tau bahwa amanah adalah pertaruhan keimanan, apalagi menyakut umat Islam. Sehingga penyelenggara haji saat itu bersungguh-sungguh memberikan kondisi yang nyaman bagi jamaah untuk khusyuk bertaqarub kepada Allah SWT.
Demikianlah kehidupan Islam jika pemimpinya menjadikan agama Islam bukan sebatas agama ritual saja. Islam adalah Ideologi yang darinya lahir peraturan hidup yang mengatur seluruh masalah kehidupan termasuk penyelenggaraan ibadah haji.
Kita dan masyaraat Utsmani memiliki potensi yang sama yaitu agama Islam, maka tak ada alasan bagi kita untuk mengembalikan marwah Islam sebagai Ideologi negara. Sebab dengan ini hidup kita dijamin oleh Allah selamat dunia dan akhirat.
Wallahu a’lam bishawab