Kemiskinan Akan Tuntas dengan Islam
Oleh : Nasywa Adzkiya (Aktifis Muslimah Kalsel)
Kemiskinan merupakan permasalah yang menjadi momok tersendiri di negeri ini. Dari barat sampai timur Indonesia dapat kita jumpai kondisi masyarakat yang memprihatinkan karena berada di bawah garis kemiskinan. Bahkan mirisnya Indonesia masuk ke dalam 100 negara termiskin di dunia. Namun, baru-baru ini pemerintah mengklaim bahwa telah berhasil menurunkan kemiskinan dan pengangguran di Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah telah berhasil menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran. Selama 10 tahun masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, tingkat kemiskinan turun dari 11,25 persen pada 2014 menjadi 9,36 persen pada 2023. Kemudian, tingkat kemiskinan ekstrem juga turun dari 6,18 persen pada 2014 menjadi 1,12 persen pada 2023. Selain itu, tingkat pengangguran nasional juga terus menurun dari 5,7 persen pada Februari 2014 menjadi 4,82 persen pada 2024, dan sudah di bawah level pra-pandemi. (Kompas.com 5/07/2024)
Faktanya apakah benar demikian? Jika kita bicara kemiskinan tentu tidak bisa jika kita hanya bicara angka statistika. Mengingat standar kemiskinan seperti apa yang digunakan di negeri ini? Padahal faktanya yang terjadi di lapangan adalah kebutuhan pokok semakin mahal, PHK masal, pengangguran meningkat, hingga pajak yang semakin tinggi.
Menurut peneliti Think Policy Indonesia, Alexander Michael Tjahjadi, klaim Sri Mulyani memang benar, tetapi perlu ditinjau dari perspektif yang lebih luasMichael mengatakan, ukuran kemiskinan ekstrem di Indonesia masih mengacu pada purchasing power parity atau paritas daya beli sebesar 1,9 dolar Amerika Serikat per hari, yang setara dengan Rp 10.739 per orang per hari, atau Rp 322.170 per orang per bulan. Namun, paritas daya beli sebesar 1,9 dolar AS per hari adalah standar pada 2011. Sementara, paritas daya beli global pada 2017 sudah sebesar 2,15 dolar AS per hari. (Kompas.com 5/07/2024)
Upaya pemerintah dalam menurunkan angka kemiskinan perlu kita apresiasi. Namun, bicara kemiskinan tidak bisa diukur hanya pada sebatas angka sementara pada kenyataannya kualitas hidup masyarakat masih jauh dari kata sejahtera. Angka hanyalah sebuah permainan yang bahkan dapat dimanipulasi, yang terpenting adalah bagaimana masyarakat merasakan perubahan kualitas hidup yang telah membaik ataukah belum.
Bicara tentang kemiskinan kita harus menelaah akar penyebab dan masalah mengapa kemiskinan di negeri ini tidak kunjung tuntas. Terdapat sistem ekonomi yang perlu dibenahi dalam pengelolaannya di negeri ini. Penerapan sistem kapitalisme dalam pemerintahan membuat masyarakat bukan menjadi prioritas untuk diurus. Melainkan bagaimana masyarakat dapat dijadikan objek untuk meraup keuntungan para pemilik modal. Bukankah hal itu yang terjadi di negeri ini?
Sistem kapitalis hari ini membuat swasta bebas mengelola SDA di negeri ini. Hingga akhirnya, negara menyerahkan pengelolaan SDA kepada pihak swasta. Padahal seharusnya negara-lah yang mengurusi SDA tersebut untuk kemudian hasilnya digunakan untuk kemaslahatan hidup rakyat.
Sangat berbeda dengan sistem Islam. Di dalam Islam manusia bersekutu dalam 3 hal sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW. Mengingat dalam sebuah hadist Rasulullah bahwa"Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api". (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Hadits tersebut menyatakan bahwa kaum Muslim (manusia) berserikat dalam air, padang rumput, dan api.
Dari hadist ini kita dapat memahami, bahwa SDA yang ada di bumi diperuntukan oleh rakyat dan dikelola oleh negara. Tidak seperti hari ini di mana pihak swasta-lah yang menikmati hasil yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu, selama sistem yang digunakan saat ini adalah sistem kapitalis, maka tidak akan pernah tercapai kesejahteraan yang hakiki di negeri ini. Sudah saatnya kita menerapkan syariat islam di muka bumi, agar rahmat Allah senantiasa melindungi negeri.
Wallahu alam bisowab