TAPERA, Bikin Seneng Pejabat Bikin Susah Rakyat

 


Oleh: Endang Marviani (Aktivis Muslimah Yogyakarta)

Marak demo yang dilakukan para buruh pekan ini menunjukkan bahwa rakyat sudah jenuh dengan setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Kebijakan yang pada akhirnya menguntungkan penguasa dan merugikan rakyat. Seperti dilansir media Kompasnews.com (06/06/2024), demo yang beraksi di depan Patung Kuda Arjuna Wijaya, Gambir, Jakarta Pusat, cukup riuh karena massa menyalakan “flare” berwarna warni sambil mengibarkan bendera Partai Buruh dan Panji-panji Serikat Buruh. Mereka bersikeras menolak Tapera!

Sementara itu, anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat RI Fraksi PDIP, Rieke Dyah Pitaloka, meminta pemerintah untuk menunda atau membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Menurutnya, kebijakan Tapera ini ada kejanggalan. Banyak temuan yang menginformasikan dana peserta Tapera yang sudah pensiun atau meninggal, tidak ada wujud pengembalian dana ke pihak mereka.

Jika dilihat dari sudut pandang buruh, adanya Tapera yang memangkas upah bulanan sebesar 3%, sangatlah merugikan. Rincian persentase pemangkasan ini yaitu 0,5% dari pemberi jasa dan 2,5% dari pekerja. Minimnya penghasilan, menambah penderitaan kaum buruh jika dikurangi lagi dengan alasan menabung. Tabungan perumahan yang rencana akan difasilitasi oleh negara untuk rakyatnya ini diduga akan menjadi ajang bancakan bagi penguasa. Perumahan FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) yang dikenal dengan rumah subsidi ini pun, dengan tabungan tapera yg dipangkas selama 30 tahun, tidak akan mampu terbeli bagi masyarakat yang berpenghasilan minimum. Dan mirisnya, rencana spesifikasi rumah Tapera berkonsep rumah vertikal bukan rumah tapak.

Kemudian pernyataan untuk penundaan atau pembatalan, inipun tidak akan menyelesaikan masalah. Pengalaman pahit tentang penundaan suatu kebijakan pemerintahan sekarang ini hanya isapan jari. Menunda berarti hanya memperpanjang jangka waktu sebelum tetap diberlakukan kebijakan tersebut. 

Sudah seharusnya, pemerintah menyediakan lahan dan hunian yang mapan bagi kaum miskin. Pemerintah dalam hal ini pemimpin atau penguasa hadir dalam rangka untuk mengatur rakyatnya. Memenuhi setiap kebutuhan pokok rakyatnya, baik itu pangan, sandang dan papan.  Juga kebutuhan umum rakyatnya seperti pendidikan, kesehatan maupun keamanannya. Jadi, kebutuhan dana untuk mencukupi itu semua, diambilkan dari pemasukkan kas negara. Dimana kas negara diperoleh bukan dengan memalak rakyatnya. Tanpa pemotongan pendapatan rakyatnya sendiri. Tanpa iuran wajib atau sukarela yang ditujukan langsung ke rakyat. Ironis bukan? 

Sistem Islam memberikan solusi dari hulu ke hilir. Pembangunan perumahan dengan basis islami harus diterapkan. Aturan dan administrasi untuk memperoleh rumah harus sesuai syariat. Tidak ada unsur riba dan tidak ada akad bathil di dalamnya. Penggunaan teknologi terkini yang sesuai standar riset. Jadi tidak asal-asalan memakai bahan bangunan berteknologi terkini tetapi justru merusak lingkungan, misalnya. Sehingga rumah yang didapat nyaman, aman, dan layak huni. Menciptakan tata ruang yang syar’i. Islam mengajarkan perilaku umum dan khusus juga di dalam rumah. Pemisahan ruang tidur laki dan perempuan, ruang jeda atau sekat antara ruang luar/tamu dengan ruang dalam sampai posisi kloset di area kamar mandi. Semua diatur dalam Islam. 

Ketika kebutuhan pokok itu menjadi tanggung jawab pemerintah/penguasa/pemimpin, sudah selayaknya jika pemenuhannya tidak menjadikan beban rakyat. Pembiayaan perumahan/hunian bisa diambil dari kas baitulmaal. Pun jika itu rakyat harus membeli, diberikan dengan harga terjangkau untuk seluruh lapisan masyarakat. Islam indah bukan?

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel