Izin Ormas Kelola Tambang: Kepentingan Politik di Balik Kebijakan
Oleh: Sarah Fauziah
Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo menandatangani peraturan yang memungkinkan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk memiliki izin pengelolaan tambang.
Kebijakan ini memicu kritik dari berbagai pihak karena dianggap bermotif politik, berpotensi memicu konflik horizontal, dan memperburuk kerusakan lingkungan akibat pertambangan. Pada 2021, Jokowi pernah berjanji memberikan konsesi pertambangan mineral dan batubara kepada generasi muda Nahdatul Ulama (NU) dengan alasan dapat menggerakkan ekonomi kecil. Pada April 2024, Majalah Tempo melaporkan bahwa Menteri Investasi Bahlil Lahadalia berkeras agar ormas keagamaan bisa mendapat izin usaha pertambangan khusus, yang kemudian terwujud melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 yang berlaku mulai 30 Mei 2024.
Berdasarkan aturan tersebut, badan usaha milik ormas keagamaan mendapat prioritas untuk mengelola wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) yang selama ini diprioritaskan untuk badan usaha negara. Melki Nahar, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), menilai bahwa alasan pemerataan ekonomi yang disampaikan pemerintah hanyalah dalih untuk mengobral konsesi demi menjinakkan ormas-ormas keagamaan.
Kebijakan ini dianggap tidak tepat dan berbahaya karena ormas memiliki tugas pokok yang berbeda dengan perusahaan tambang. Ormas yang seharusnya mengontrol penguasa melalui amar ma’ruf nahi munkar akan sibuk mencari keuntungan melalui pengelolaan tambang.
Tambang pada hakikatnya adalah milik umat, dan kebijakan terbaru ini semakin mengalihkan tanggung jawab negara dalam mengelola tambang kepada pihak lain, dalam hal ini ormas. Sebelumnya, negara sudah sering memberikan izin pengelolaan tambang kepada pihak swasta asing maupun lokal, yang merupakan hasil dari privatisasi sumber daya alam sebagai buah dari sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini memungkinkan liberalisasi sumber daya alam oleh pihak swasta, menafikan kepemilikan umum atau publik, dan memberikan peluang kepada siapa saja yang memiliki modal untuk mengelola sumber daya tersebut.
Kebijakan memberikan izin pengelolaan tambang kepada ormas, yang berujung pada disorientasi kelembagaan, menunjukkan bobroknya sistem politik yang berjalan di negeri ini. Kebijakan ini juga dianggap sebagai balas budi kepada ormas-ormas yang mendukung pemerintah, yang merupakan salah satu kelemahan sistem demokrasi. Dalam sistem ini, pemilihan wakil rakyat dan kepala pemerintahan dibatasi pada partisipasi di hari pemilihan saja, sedangkan kebijakan yang diambil seringkali tidak berpihak kepada rakyat.
Tambang, sebagai milik rakyat, seolah diobral melalui pengelolaan ala kapitalis yang telah merusak lingkungan dan kehidupan sosial. Dalam Islam, sumber daya alam seperti tambang adalah milik umum dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat.
Negara dalam Islam berperan sebagai pengurus rakyat, sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Imam atau khalifah adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR. Bukhari). Negara dalam Islam bukan pelayan korporasi atau ormas karena utang budi, tetapi pelayan rakyat.
Islam melarang negara menyerahkan pengelolaan harta milik umum berupa tambang yang melimpah kepada pihak manapun, baik swasta maupun ormas. Pengelolaan tambang oleh negara akan menguntungkan negara dan menyejahterakan rakyat.
Ormas dalam sistem Khilafah atau negara Islam adalah kelompok kaum muslimin yang wajib ada untuk memenuhi seruan Allah dalam Quran Surah Ali Imran ayat 104. Ormas berfungsi melakukan dakwah, amar ma’ruf, dan nahi munkar, serta mengoreksi penguasa.
Hanya Khilafah yang mampu mengembalikan fungsi negara dan ormas sesuai dengan syariat Islam, sehingga negara dapat mengelola sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat tanpa disalahgunakan untuk kepentingan politik atau ekonomi segelintir pihak.