Gen Z Menganggur, Kemana Peran Negara?

 



Oleh ; Ummu Izza(Aktifis Muslimah Kalsel)

Generasi Indonesia, sering disebut sebagai Generasi Emas, adalah sebutan bagi generasi muda yang saat ini sedang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Mereka merupakan harapan bangsa untuk membawa perubahan positif dan kemajuan di berbagai bidang, mulai dari teknologi, ekonomi, pendidikan, hingga budaya. Generasi ini tumbuh di era digital, di mana akses informasi sangat mudah dan cepat, sehingga mereka memiliki peluang yang lebih besar untuk belajar dan berinovasi.

Salah satu karakteristik utama dari Generasi Indonesia adalah adaptabilitas dan kreativitas. Mereka mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan teknologi dan sosial yang terjadi di sekitar mereka. Kreativitas mereka tercermin dalam berbagai inovasi dan karya yang dihasilkan, baik dalam bentuk seni, teknologi, maupun bisnis. Misalnya, banyak anak muda Indonesia yang sukses menciptakan startup yang tidak hanya sukses di dalam negeri, tetapi juga di kancah internasional.

Namun, tantangan juga tidak sedikit. Generasi Indonesia harus menghadapi berbagai masalah seperti ketimpangan akses pendidikan, pengangguran, dan tantangan lingkungan. 

Banyaknya pengangguran menunjukkan adanya keterbatasan lapangan kerja, menunjukkan gagalnya negara menciptakan lapangan.  Apalagi adanya kebijakan negara memudahkan investor asing dan pekerjanya berusaha di Indonesia, termasuk dalam mengelola SDA.

Mengutip dari kumparanBISNIS,(20 Mei 2024) Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah, bicara mengenai data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat ada 9,9 juta penduduk Indonesia yang tergolong usia muda atau Gen Z belum memiliki pekerjaan. Angka tersebut didominasi oleh penduduk yang berusia 18 hingga 24 tahun."Itu biasanya mereka banyak yang pengangguran karena sedang mencari pekerjaan mereka yang lolos sekolah atau lulus kuliah 24 tahun, itu biasanya lulus kuliah S1, kalau 18 itu biasanya lulus SMA," ujar Ida usai rapat bersama Komisi IX DPR di Jakarta, Senin (20/5).

KOMPAS.com

 Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa hampir 10 juta penduduk Indonesia generasi Z berusia 15-24 tahun menganggur atau tanpa kegiatan (not in employment, education, and training/NEET). Bila dirinci lebih lanjut, anak muda yang paling banyak masuk dalam ketegori NEET justru ada di daerah perkotaan yakni sebanyak 5,2 juta orang dan 4,6 juta di pedesaan. Fenomena maraknya pengangguran di kalangan Gen Z menjadi ancaman serius bonus demografi menuju Indonesia Emas 2045. Gen Z adalah mereka yang lahir pada 1997 hingga 2012. Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengungkapkan banyak dari pengangguran berusia muda tersebut tercatat baru lulus SMA sederat dan perguruan tinggi.

Muda Tanpa Kegiatan

Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyatakan bahwa banyak Gen Z menjadi pengangguran karena lelah lamaran kerjanya terus ditolak. Faktor penolakan ini menjadi salah satu penyebab banyaknya anak muda Indonesia masuk dalam golongan tanpa kegiatan pendidikan, bekerja, dan pelatihan atau youth not in education, employment, and training (NEET).

Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Bappenas Maliki menjelaskan, “Kalau dia sudah menjadi NEET selama 1 tahun atau 3 tahun, akhirnya memang akan men-discourage (kecil hati) keinginannya mencari pekerjaan.”

Penjelasan Bappenas ini terkait dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menggambarkan kondisi penduduk muda Indonesia yang mengkhawatirkan. Data tersebut menyebutkan bahwa pada 2023 terdapat sekitar 9,9 juta penduduk usia muda (15—24 tahun) tanpa kegiatan atau NEET.

Generasi muda tanpa kegiatan itu terkategori Gen Z, yaitu generasi yang lahir pada rentang 1997—2012. Kini mereka berusia 12—27 tahun. Persentase generasi muda Indonesia usia 15—24 tahun yang berstatus NEET mencapai 22,25% dari total penduduk usia 15—24 tahun secara nasional. Artinya, dari 100 orang penduduk muda, ada 22 orang yang tanpa kegiatan. Generasi muda ini merasa putus asa karena berbagai penolakan yang mereka terima. Lantas mereka tidak percaya diri untuk lanjut melamar kerja sehingga tergolong NEET. (CNBC Indonesia, 21-5-2024).

Banyaknya pemuda yang menganggur tentu memprihatinkan. Mereka sedang berada pada masa puncak produktivitas sehingga seharusnya mendayagunakan seluruh potensinya untuk memenuhi kebutuhan dirinya, membantu orang tua, dan lebih-lebih adalah untuk memberi manfaat kebaikan bagi umat. 

Hal ini sebagaimana firman Allah Swt., “Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban.”(QS Ar-Rum: 54).

Sayangnya, kini potensi tersebut seolah terbuang percuma karena Gen Z tidak memiliki kesempatan untuk bekerja. Dampaknya tidak hanya pada kesejahteraan dirinya, tetapi juga pada para orang tua yang masih harus terus menanggung nafkah anak yang sebenarnya sudah dewasa dan bisa hidup mandiri.

Banyaknya pemuda yang menganggur juga akan menjadi masalah bagi masyarakat karena berpotensi memicu maraknya kriminalitas.

Namun, banyaknya pemuda tanpa kegiatan bukan semata disebabkan faktor diri Gen Z yang kurang tangguh sehingga mudah menyerah ketika mengalami penolakan demi penolakan. Faktor yang lebih dominan adalah kegagalan pemerintah dalam mencegah tingginya angka NEET. 

Kegagalan ini mewujud pada tiga hal, yakni pertama, negara gagal menyiapkan para pemuda untuk menjadi sosok yang berkualitas melalui sistem pendidikan. Seharusnya sistem pendidikan mampu membentuk para pemuda menjadi orang-orang yang memiliki keahlian tertentu untuk bekal mereka hidup.

Selain itu, sistem pendidikan juga harusnya mampu membentuk mental para pemuda sehingga tidak mudah menyerah meskipun menghadapi berbagai tantangan dan hambatan.

Kedua, negara gagal menyediakan pendidikan tinggi yang terjangkau oleh setiap rakyat. Saat ini, tingginya UKT menjadi sorotan banyak pihak. UKT di kampus negeri naik secara gila-gilaan sehingga banyak pemuda yang gagal kuliah karena tidak mampu membayarnya.

Ketiga, negara gagal menyediakan lapangan kerja dalam jumlah besar. Pemerintah selama ini membanggakan proyek strategis nasional (PSN) bernilai triliunan rupiah dengan klaim akan menyerap tenaga kerja, tetapi hasilnya ternyata minim. Nilai investasi tidak sebanding dengan lapangan kerja, padahal berbagai regulasi sudah dikepres melalui UU Cipta Kerja demi memuluskan investasi. Begitu juga dengan pembangunan kawasan ekonomi khusus (KEK) ternyata juga gagal menjamin tersedianya lapangan kerja untuk anak negeri.


Seharusnya bonus demografi berupa besarnya jumlah generasi muda diiringi dengan terbukanya lapangan kerja dalam jumlah besar. Sayangnya, negara abai terhadap hal ini sehingga berdampak meledaknya jumlah pengangguran usia produktif. Bonus demografi kini justru menjadi tragedi demografi.

Akibat Kapitalisme Liberal

Tragedi demografi ini sesungguhnya merupakan buah busuk penerapan ideologi kapitalisme yang liberal. Betapa tidak, kapitalisme telah menjadikan fungsi negara hanya sebagai pengawas. Negara tidak turun tangan memberikan solusi masalah warganya. Negara “kalah” dengan warung seblak yang mampu membuka lapangan pekerjaan, meski sumber dayanya sangat minim. Sedangkan negara yang menguasai tambang, hutan, laut, sungai, pulau, gunung, sawah, dan uang dalam jumlah besar ternyata tidak mampu menyediakan lapangan kerja yang mencukupi kebutuhan warganya.

Negara secara liberal menyerahkan berbagai kekayaan yang luar biasa tersebut kepada korporasi swasta, baik lokal maupun asing. Liberalisasi ekonomi ini menjadikan sumber daya alam dikuasai segelintir pemodal. Miris, setelah kekayaan alam diserahkan, anak bangsa pun kehilangan kesempatan untuk mengakses pekerjaan. Inilah pengkhianatan jahat yang dilakukan penguasa terhadap rakyat.

Islam Menyejahterakan

Kondisi yang berbeda 180° terjadi dalam sistem Islam. Sistem Islam (Khilafah) menjalankan isi Al-Qur’an dan Sunah yang menempatkan kekayaan alam, seperti tambang, hutan, sungai, laut, gunung, dan sebagainya sebagai milik umum sehingga haram di swastanisasi. Semua itu milik umum yang wajib dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat.

Dalam rangka pengelolaan kekayaan alam tersebut, Negara Khilafah akan melakukan industrialisasi sehingga membuka lapangan pekerjaan dalam jumlah besar. Kebutuhan sumber daya manusia yang berkualitas akan bisa dipenuhi karena Khilafah menyelenggarakan sistem pendidikan Islam yang menghasilkan output generasi berkepribadian Islam dan sekaligus memiliki kompetensi tertentu.

Pendidikan di dalam Khilafah bisa diakses oleh siapa pun karena gratis. Generasi muda bisa sekolah setinggi-tingginya tanpa terkendala biaya. Tidak hanya gratis, mereka bahkan mendapatkan fasilitas berupa asrama, makan, minum, pakaian, buku pelajaran, alat tulis, layanan kesehatan, dan transportasi. Dengan demikian, generasi muda tidak akan dipusingkan dengan UKT, BKT, SPI, biaya kos, makan, transport, buku, dll.

Generasi muda dalam Khilafah bisa memilih, apakah setelah lulus pendidikan dasar (ibtidaiah, mutawasithah, dan sanawiah) memutuskan bekerja sesuai kompetensinya karena sistem pendidikan sudah mendidik mereka menjadi orang yang memiliki kompetensi tertentu, atau mereka kuliah di perguruan tinggi karena negara menggratiskannya hingga level pendidikan tertinggi, yaitu doktoral (S3) yang mencetak para pakar.

Inilah gambaran negara Khilafah yang menyejahterakan para pemuda. Mereka dijamin tidak menganggur. Mereka bahkan akan membaktikan segala potensinya untuk umat sehingga menghasilkan berbagai penemuan yang bermanfaat untuk umat dan bahkan menghasilkan peradaban nan terdepan dalam kemajuan. 

Wallahu Alam bishawab.

Sumber : kompas.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel